Halo, namaku Tori. Biarpun aku terlihat dekil dan badanku kurus, kemampuanku tidak boleh diremehkan. Coba tanya Johar, kami berdua sudah melalui banyak hal bersama. Mulai dari pengalaman pahit sampai… kayaknya, pahit semua pengalamannya. Biarpun begitu, hobiku tetap sama sampai sekarang, jalan bareng Johar menelusuri Bandung.
Belakangan ini, kita sudah jarang jalan bareng, padahal dulu hampir tiap hari. Mungkin dia sudah mulai lupa. Kini body seksiku sudah mulai usang akibat dicampakkan berhari-hari di kosan. Sedih sih, pengin nangis rasanya. Tapi nanti Johar makin ilfeel sama aku. Terus aku makin dijauhin. Makin cyedih akika… hiks.
Kalau kalian melihat kepalaku dengan jeli, mungkin kalian akan menertawakanku. Kepalaku sedikit peyang. Sedikit aja kok, tapi sudah bisa mengubah pandangan orang terhadapku. Percayalah, aku tidak terlahir begini. Kepalaku bisa sampai begini karena dua kecelakaan yang pernah aku alami dengan Johar. Ia mungkin melupakan dua kenahasan itu, tapi aku tidak akan pernah.
Kali pertama, waktu itu Johar sedang terburu-buru mengejar jadwal praktikum. Aku ingat pesan nenek bahwa terburu-buru tidak baik, tapi apa daya Johar memang sering ketiduran dan mesti mengejar waktu. Berangkatlah kami melawan pesan nenek.
Tikungan yang sudah berkali-kali kami lewati berdua, hari itu entah kenapa terasa asing. Kami melaju begitu kencang, membalap semua yang berani menghalangi. Masih bisa nih mengejar, begitu pikirku sambil berpegangan erat dengan Johar. Tiba-tiba waktu berjalan lambat. Aku terpeleset. Masih berbekas dalam ingatan, di ujung mataku terlihat Johar terpelanting dan mendarat dengan siku tangannya. Inginku berteriak: JOHAAARR, TIDAAAK! Sayangnya, aku keburu pingsan.
Aku terima hukumannya, tidak bisa jalan bareng Johar selama sebulan karena salah satu tangannya harus ditopang perban. Aku sendiri tidak terkena luka fisik, tapi aku merasa ada yang aneh dengan kepalaku. Kadang-kadang, aku bisa tiba-tiba terbayang akan kecelakaan menyeramkan itu. Ingatan akan Johar koprol di udara membuat kepalaku nyut-nyutan. Aku tidak tahu apa yang terjadi, sampai akhirnya aku konsultasi ke psikiater.
“Kamu mengalami PTSD,” begitu vonis psikiater. Aku terdiam, karena aku ga paham apa itu PTSD, tapi kalau nama penyakit sudah sampai disingkat-singkat berarti parah. Apakah Johar akan tetap menerima aku apa adanya? Ketakutan ini terus membayangi hidupku. Hingga kecelakaan kedua yang membuat jawabannya jadi jelas.
Aku sadar, kondisiku yang tidak lagi sempurna membuat nyawa Johar sering jadi taruhan. Kata nenek, taruhan itu juga ga baik. Apalagi taruhan di lampu merah. Lagi-lagi kami melawan pesan nenek.
Lampu merah yang ini memang menakutkan karena lokasinya ada di tanjakkan. Suatu hari, ketika sedang menunggu lampu berganti hijau, mobil yang tepat berada di depanku mundur secara mendadak. Seharusnya mudah saja aku menghindar, tapi tiba-tiba sakit kepala itu datang. Batinku berteriak: kenapa harus sekarang?
Aku tidak bisa bergerak dan Johar malah kebingungan. Sesaat sakit kepala itu berhenti, kami berdua sudah terbaring di jalanan dengan sebuah roda menimpa kepalaku. Sakit kepala langsung kembali menyerang, kini jauh lebih parah. Ditambah lagi Johar berteriak-teriak sambil menggedor-gedor mobil dungu yang masih terus mundur. Kenapa, Johar, kenapa? Kenapa engkau tidak meninggalkanku saja. Kesetiaanmu membunuhku.
Untungnya, orang-orang yang melihat kejadian itu langsung membantu. Mobil berhenti tepat sebelum roda sampai menimpa Johar. Begitu tahu Johar sudah aman, aku hanya bisa memejamkan mata. Dua kali sudah aku mengecewakan Johar.
Sekarang kepalaku terluka dari dua sisi. Sering sakit kepala karena PTSD di bagian dalam dan peyang di bagian luar. Jelas sudah diriku yang dulu kebanggaan Johar sekarang malah jadi bahan olok-olok teman-temannya. Yoyok yang pernah kuantarkan ke rumah sakit subuh-subuh, sekarang paling sering menertawaiku. Kurang ajar memang dia.
Awalnya, Johar masih sering membelaku. Aku senang, tapi kesabaran setiap orang ada batasnya. Seiring berjalannya waktu, aku harus melihat Johar berjalan melewatiku begitu saja bahkan tanpa lirikan sebelah mata. Tidak apa-apa. Aku akan tetap setia menunggu di parkiran, menantikan suatu hari nanti ketika Johar menunggangiku lagi.
Cerita berikutnya: Lima Tahap Nestapa
2 pemikiran pada “5D.2: Motor Legendaris”