Dalam sebuah acara ngerjain orang, salah satu tantangan meminta para peserta untuk menelpon salah seorang teman mereka. Tapi harus teman yang paling bisa diandalkan, karena orang tersebut akan ditelepon secara tiba-tiba. Lebih tepatnya dibikin panik. Peserta akan berpura-pura sedang dalam keadaan darurat dan si sahabat mesti segera datang ke lokasi yang diminta tanpa dijelaskan apa-apa. Ga tanggung-tanggung, teleponnya jam 2 pagi. Peserta yang sahabatnya ga datang dalam jangka waktu 30 menit akan kena hukuman.
Kalau ada di posisi peserta, kira-kira siapa yang akan kalian telepon?
Untuk Yoyok, kasus seperti ini bukanlah sekadar skenario dalam acara ngerjain orang. Nyawanya pernah terancam jam 3 pagi dan seorang teman yang beruntung ikut kena imbasnya.
Sebagai seorang mahasiswa, tugas memang sudah menjadi makanan sehari-hari Yoyok. Beneran makanan sehari-hari, karena Yoyok ini sering lupa makan makanan lain karena kenyang sama tugas. Ditambah lagi sebagai anak kos punya prinsip kalau makan malam terbaik adalah tidur. Kalau brunch menggabungkan makan pagi dan makan siang, Yoyok ini hobinya dinast, gabungin makan malam dan pagi.
Dengan model diet ketat begini, ga heran sih kalau lihat badan Yoyok akhirnya cungkring banget. Kulit bagai langsung nempel ke tulang. Agak bahaya mengingat posisi Yoyok yang sekarang tinggal di Bandung, banyak angin. Kehembus angin dikit aja bisa melayang ke samudra hindia dia. Makanya, Yoyok seringkali mempertimbangkan beli barbel. Bukan untuk mengisi massa otot, tapi mau dirantai ke kaki biar ga gampang kebawa angin.
Biasanya Yoyok tetep maksain makan minimal sekali lah sehari, walau cuma nasi disiram kuah gule atau mie instan. Hari itu hujan mengguyur seharian dan stok mie yang ludes membuat Yoyok memutuskan untuk sekalian berpuasa. Alhasil, sekitar jam 2 pagi, Yoyok mulai merasa sakit di bagian perut tapi ga parah. Karena sok kuat, dia lanjut aja ngerjain tugas sambil berharap sakitnya bakal ilang sendiri. Yang awalnya sakit masih bisa ditahan, lama-lama makin parah, seperti ada yang nyalain blender dalam perut. Brrrr, nyut, nyut. Usus dua belas jari pun seolah melambai ke arah kamera karena sudah ga kuat.
Di saat sulit seperti ini, Yoyok mulai berpikir untuk meminta bantuan. Siapa ya yang bisa bantu? Kaki langsing Yoyok melangkah lebih berat biasanya, sampai akhirnya ia tiba di depan pintu salah satu teman kosannya.
Tok, tok. Ga ada jawaban.
Tok, tok. Masih ga ada jawaban. Kalau ga sakit udah gue dobrak ni pintu, pikir Yoyok sambil megangin perutnya yang makin menyiksa.
“Har, Johar! Tolongin gue,” teriak Yoyok dengan sisa tenaga sambil ngetok lebih keras, berharap bisa membangungkan si Johar. Emang Johar ini susah banget dibangunin kalau udah tidur. Tapi gimana donk, di antara semua teman Yoyok yang ada di kosan, Johar lah harapannya. Apakah karena Johar yang paling bisa diandalkan? Tentu saja tidak. Alasannya, cuma dia yang modal punya motor.
“Napa sih Yok, pagi-pagi gini gedor-gedor pintu,” akhirnya si Johar bangun juga, walau matanya masih merem. Kayaknya ini badan doank yang gerak tapi nyawanya masih melayang-layang di dunia mimpi.
“Jangan bilang lu minta gue bantuin ngusir kecoa lagi,” lanjut Johar ketus masih sambil merem di tengah kamarnya yang begitu gelap dan misterius.
“Perut gue sakit banget Har, anterin donk ke…”
“EH GILA, MUKALU PUCET BANGET YOK!” Tiba-tiba si Johar melompat dari tengah kamar ke hadapan Yoyok. Kayaknya dia pengin memastikan yang dia lihat itu mukanya si Yoyok apa belek nyangkut di tengah mata. Pas udah deket banget, Yoyok bisa lihat mata Johar yang daritadi ketutup sekarang melotot segede bola golf. Bola golf belekan.
“Iya, perut gue sakit, anterin donk ke…”
“LU MESTI KE RUMAH SAKIT SEKARANG!” teriak Johar begitu sadar kalau muka temannya udah kayak zombi.
“Iya, gue mau ngomong itu dari tadi.” Yoyok udah capek nanggepin si Johar yang makin heboh, bolak-balik dari lemari ke meja nyariin kunci motor. Yang mana yang lemari, yang mana yang meja udah ga jelas saking berantakannya. Yoyok mau bantuin tapi matanya sudah penuh kunang-kunang. Dia udah pasrah kalau akhirnya keburu pingsan nungguin kunci motornya ketemu.
Wangsit pun datang dan Johar bisa menemukan kunci motor itu tersembunyi di antara tumpukan jerami dalam kamarnya. Ingatan Yoyok samar-samar setelah itu, apakah akhirnya Johar bantu papah atau malah gendong. Yang pasti, tiba-tiba Yoyok udah duduk di bangku belakang motor. Sebenarnya keputusan menggunakan motor legendaris Johar di kala darurat juga patut dipertanyakan, mengingat sejarah panjangnya yang penuh dengan kenahasan. Tapi kita simpan dulu cerita nahas tentang motor ini. Sekarang Yoyok yang masih terancam nyawanya.
“Pegangan yang kenceng, Yok!” Suara Johar samar-samar menembus helm sambil ngegas motor. Bau jalanan basah memaksa masuk ke dalam hidung Yoyok, bikin jantung makin berdegup lemas. Darah di badan Yoyok jadi bingung mesti gerak ke otak yang lagi keliyengan apa pompa jantung. Makin pucat lah wajahnya.
“Udah kok,” jawab Yoyok, saking lemasnya, suaranya gagal menembus helm.
“HAH? PEGANGAN YANG KENCENG WOI!” Ternyata bukan cuma motornya yang ngegas, si Johar juga. Kelakuan pengendara emang seringkali ngikutin motornya.
“Udah ni gue pegangan belakang.”
“PEGANGAN KE GUE!”
Entah memang perutnya makin sakit atau kata-kata Johar itu memang tiba-tiba bikin perut Yoyok makin melilit. Kepala juga puyeng bukan kepalang. Yoyok mulai menimbang-nimbang, kalau pilihannya peluk Johar atau mati, gue milih…
“BURUAN!” perintah Johar memutus keragu-raguan Yoyok. Untungya, Yoyok masih cukup sadar untuk pegangan bahu Johar, bukan memeluk erat dari belakang. Begitu tangan Yoyok menempel ke bahu Johar, tiba-tiba motor legendaris ini seperti mendapatkan pecut turbo menembus samar lampu malam yang kedap-kedip. Eh, itu lampu yang kedap-kedip atau kunang-kunang di mata Yoyok?
…
Begitu sampai di rumah sakit, Yoyok yang sudah kehabisan tenaga berusaha mengikuti Johar buru-buru ke UGD. Untung Yoyok enteng, jadi dia bisa memanfaatkan angin malam untuk membantu mendorong. Ternyata ada untungnya juga kurus kerempeng.
“Dok, tolongin temen saya. Mukanya pucet banget.” Johar berhasil mencapai bagian UGD, kayaknya Yoyok udah tergeletak di lantai kayak karpet.
Si Dokter tampak begitu tenang menatap Yoyok yang teronggok begitu saja. Tanpa berkata apa-apa, si dokter memanggil seorang suster dan berbisik-bisik. Johar malah tambah panik, kok ini dokter tenang banget sementara temannya kayak sekarat gini. Jangan-jangan sudah terlambat dan si suster disuruh nyiapin ruang duka?
“Masih idup ga lu Yok?” tanya Johar yang ikut berusaha bisik-bisik tapi karena sambil ngumpulin nafas malah kedengeran satu ruangan.
“Engga, udah mati!”
“Yee, udah sekarat, nyolot lagi.”
Johar kembali memalingkan pandangannya kembali ke dokter yang lagi sibuk nyatet-nyatet. Si suster yang tadi dibisikin dokter kembali menghampiri sambil bawa satu tablet obat.
“Anak Kampus Gajah ya?” tanya dokter ke Johar.
“Iya, dok.”
“Nih, temannya suruh minum ini aja terus istirahat ya.”
Diagnosis tersingkat yang pernah terjadi baik dalam hidup Yoyok maupun Johar. Dokter jaga UGD RS yang posisinya dekat dengan kampus ini seperti sudah khatam mengurusi kunjungan mahasiswa program diet ketat seperti Yoyok.
Memang mudah ketebak sih dari bentukannya kalau dua manusia ini pasti mahasiswa. Walaupun dalam kondisi darurat dibangunin temannya yang sudah berubah jadi zombi, Johar tak luput menyempatkan pakai seragam kebangsaan anak kampus: celana jeans belel yang entah kapan terakhir dicuci, jaket dengan tulisan nama kampus segede gaban, dan muka bloon yang ga tahu kapan terakhir dibilas. Pakaian Yoyok? Ga usah ditanya.
“Lu napa si Yok?” tanya Johar sambil duduk di samping tempat tidur putih khas rumah sakit tempat Yoyok baring.
“Kayaknya gara-gara gue lupa makan deh.” jawab Yoyok masih sambil megangin perutnya. Berkat obat dari dokter, blender di dalamnya udah mulai kehabisan listrik.
“Emang kapan terakhir lu makan?”
“Jam 9 lah, kira-kira.”
“Yee, ga lupa itu namanya.”
“Jam 9 pagi, Har”
“GILA LU YA? LU GA MAKAN SIANG AMA MALEM?” suara Johar kembali menggelegar mengisi ruangan. Perasaan motornya ditinggal di parkiran, kenapa Johar masih bisa ngegas? Kapan juga ini si Johar berdirinya, tiba-tiba dia udah melotot sambil tolak pinggang aja. Yoyok pura-pura ga lihat aja, entar balik lagi mualnya kalau mesti lihat mukanya si Johar lagi emosi.
“Kasih tahu ke gue Yok siapa yang harus tanggung jawab.” Johar nyeletuk sambil geleng-geleng dan kembali ke posisi duduk.
“Tanggung jawab? Tanggung jawab apaan?”
“Lah, bukannya lu hamil? HAHAHA!” Abis marah-marah sekarang malah ketawanya Johar yang menggaung di ruangan UGD. Kayaknya pasien lain mulai curiga kalau suara ini berasal dari UGD yang berbeda: Unit Gila Darurat.
“Udah ketawanya?” kata Yoyok sabar menunggu Johar beres ketawa. “Lu juga mumpung di rumah sakit mending minta vaksin sekalian.” Sisa-sisa nyengir di bibir Johar berhenti berkembang karena bingung dengan kata-kata Yoyok.
“Enak aja, vaksin gue udah lengkap, cuy.”
“Ada yang kelewat tu, vaksin rabies!” Yoyok yang baru mendingan akhirnya bisa membalas.
“Biji, lu kira gue guguk…” kata Johar sambil kembali duduk. Suasana kembali tenang sejenak, diisi latar belakang kesibukan ruang UGD.
“Udah, lu lanjut tidur aja Har, gua udah baikan tapi mau rebahan dulu.”
“Kagak,” tiba-tiba Johar memotong, “sebagai temen yang baik, gua jagain, dah lu tidur aja.”
“Tumben baik lu,” mata Yoyok yang sudah hampir ketutup akhirnya melek lagi menatap ke langit-langit ruang UGD. “Walau terus-terusan dibully, gue tetep mau bilang terima kasih ke lu, Har. Pagi-pagi gini masih mau nganter gue ke rumah sakit gara-gara salah gue sendiri.” Gumam Yoyok pelan takut Johar keburu melayang.
“Selow, udah ga ngantuk kok gue.” jawab Johar.
“Beneran. Untung ada lu, kalau ga, udah keburu pingsan kali gue di kosan. Makasih yak, gue utang budi nih ama lu,” lanjut Yoyok. Biarpun kelihatannya cuek, Johar jelas orang yang peduli dengan teman-temannya. Yoyok beruntung di saat darurat seperti malam ini ada Johar dan motornya yang siaga di kosan.
“Entar kalau perut gue udah kembali prima, gue traktir makan siang deh. Lu lagi pengin makan apa? Jangan mahal-mahal yak tapi,” kata Yoyok masih setengah sadar dan perut yang tetap berombak.
Aneh, biasanya Johar bakal seneng ada kesempatan begini, tapi kok dia ga jawab.
“Har, lu lagi pengin makan apa ga?”
“Har?” Tanya Yoyok sambil nengok ke Johar
GROOOOK
“EH SI DODOL, TERNYATA TIDUR JUGA LU!” sahut Yoyok emosi ke arah temennya yang udah pulas sampai ilernya netes ke bangku rumah sakit. Sesaat Yoyok berpikir untuk bangunin dan ngomelin Johar, tapi tiba-tiba dia sadar kalau temannya ni kasihan juga udah nganterin subuh-subuh. Apalagi Johar ini runner-up penghargaan tertidur sefakultas waktu tingkat pertama. Tidur sungguh berharga buat dia, jadi biarlah sama-sama istirahat aja. Lagian, Yoyok jadi ga perlu nraktir Johar lagi.
Sejam kemudian, Yoyok sudah bisa jalan sendiri walau masih goyah kalau ada angin malam bertiup. Sebelum ilernya membanjiri rumah sakit dan pasien lain harus mengungsi, Yoyok memutuskan untuk bangunin Johar. Karena sama-sama masih kecapekan, perjalanan ke motor dilalui tanpa ngobrol. Anehnya, di tengah jalan menuju kosan, tiba-tiba Johar berbelok ke swalayan 24 jam.
“Kenapa Har, lu mau beli apaan?”
“Bukan gue, tapi lu yang beli.” Jawab Johar dengan suara mendam di balik helm.
“Hah? Gue mau beli apaan?”
“Beli sarapan.”
Yoyok yang udah ngantuk banget ga yakin apa yang dimaksud sama Johar.
“Buruan, malah bengong! Gue ogah kalo mesti nganterin lu lagi, tidur gue terlalu berharga.”
“Iya, iya, Sabar.” Kata Yoyok sambil turun dari motor. Walau Johar bilang begitu, Yoyok sebenarnya yakin kalau dua belas jari dalam perutnya mulai melambaikan bendera putih lagi, Johar dan motor legendaris ini bakal bersedia ngegas lagi.
Cerita berikutnya: Motor Legendaris
Satu pemikiran pada “5D.1: Ngegas Penyambung Nyawa”