“Selamat! Tepat sekali, pesanan hari ini adalah menu favorit di restoran kami!”
Wiyan tidak bisa menyembunyikan senyum bangganya ketika mendengar kata-kata Mba pelayan Restoran Pizza HUG. Di hadapan Wiyan, Yoyok juga tidak bisa menyembunyikan ekspresinya. Ekspresi eneg. Sudah tiap minggu mendengar kata-kata itu dari mba pelayan, masih aja kebanggaan Wiyan tidak pudar.
Yoyok merasa wajar dengan kelakuan Wiyan. Wiyan adalah teman pertama Yoyok sejak jadi mahasiswa, sekaligus manusia pertama yang menempatkan kompetisi sebagai jalan ninjanya. Apesnya, di antara rombongan anak baru kosan Yoyok, hanya Wiyan yang ternyata sefakultas.
Dari penampakannya, Wiyan memang terlihat seperti anak baik-baik dan tidak ada yang mencurigakan. Rambut dan alis tersisir rapih. Mungkin bulu ketiaknya juga disisir, itupun kalau ga di-waxing. Setelah kenal beberapa minggu, Yoyok menemukan teman barunya ini bagaikan gabungan dari karakter-karakter kartun Doraemon.
Walau tampang seperti Nobita, otaknya encer seperti Dekisugi. Lugunya seperti Sizuka, tapi laganya bagai Suneo: suka pamer barang-barang aneh dan hobinya menertawakan orang lain. Yang paling kentara, sifat ga mau kalahnya mirip Giant. Kompetitif adalah nama belakang Wiyan. Apapun dilombain, makanya dia bangga sekali ketika berhasil mendapat pujian mba pelayan restoran.
“Sampe kapan lu bakal pesen menu yang sama demi dipuji?” Tanya Yoyok ketus berusaha mengakhiri senyum lebar Wiyan yang mulai mengganggu selera makannya.
“Emang siapa juga yang pesen demi dipuji? Gua emang mau pesen itu kok!” Kata Wiyan membela diri. Tiba-tiba posisi duduk Yoyok bergeser ke ujung kursi, seolah bersiap memulai perdebatan.
“Iya boleh aja sih, tapi kan siapa tau gue pengen ganti menu!”
“Emangnya, lu mau ganti?”
“Kaga sih…”
“Ya udah, ga usah protes.”
“Kan kalau. KALAU gua mau ganti gimana?”
“Ya, lu mau ganti ga?” Tanya Wiyan dengan suara cukup keras. Yoyok mau langsung menanggapi, tapi tiba-tiba mba pelayan datang mengantarkan dua es teh lemon. Wiyan dan Yoyok masih tatap-tatapan sengit sampai kedua gelas teh yang baru datang ikut merasa canggung.
“Kaga.” setelah lama berpikir ujung-ujungnya tetap sama aja jawaban Yoyok.
“Berisik dah lu.”
Yoyok mau membalas lagi, tapi bisa semaleman kalau diterusin.
“Yang waras ngalah dah.”
“Sumber kali waras.” Samber Wiyan disertai cekikikan bangganya yang mengganggu pemandangan. Yoyok semakin mempertanyakan nasibnya terjebak dengan Wiyan. Orang ini biarpun seumuran tapi leluconnya tua banget. Sayangnya waktu itu belum ada akun sosmed jokes bapak-bapak. Kalau ada, Wiyan cocok banget jadi adminnya.
“Lagian mbanya kok ga pernah apal sih. Padahal kita tiap minggu ke sini.” Yoyok nyeletuk lagi cari masalah sambil menggapai sedotan.
“Lu ga seneng banget sih gua dipuji.”
“Bukan dipujinya, tapi bangga lu tu yang nyebelin.”
“Bangga Belitung?”
Air dalam gelas balik lagi jadi es saking dinginnya lelucon Wiyan. Suasana ga bertambah baik, senyum Wiyan makin lebar. Pizza cepatlah datang, tolong aku, doa Yoyok yang sudah ga tahan.
Doa Yoyok pun terkabul. Dua loyang Pizza menghampiri meja makan ditemani satu teko es teh lemon.
“Akhirnya, gua udah eneg ngeliatin lu nyengir takut ga napsu makan.” cetus Yoyok sambil menelan ludah sudah kelaparan.
“Gue mau coba sesuatu yang baru ah,” Yoyok yang biasanya langsung menelan potongan Pizza dengan sigap malah celingak-celinguk sibuk mencari pelayan. “Mba!” panggilnya beberapa saat kemudian.
“Boleh minta Tabacok?”
“Boleh, sebentar ya.”
Sekarang gantian Yoyok yang senyum-senyum dan Wiyan yang kebingungan. “Kok tumben lu minta Tabacok? Biasanya juga pake sambel DEF.” Tanya Wiyan curiga.
“Gue mau membuktikan kalau gue bisa ganti menu.” Kata Yoyok diiringi nyengir balasan.
“Apaan ditambahin Tabacok doang, belum ganti menu itu.”
“1000 langkah dimulai dari satu langkah juga.”
“Satu langkah mundur kali,” Wiyan lanjut tertawa-tawa. Yoyok sudah tidak peduli lagi, ia sekarang sibuk mencari tahu gimana cara pakai Tabacok, berhubung ini pertama kali.
“Daripada ngelihatin lu ketawa-ketawa sendiri, mendingan gue menikmati Pizza dengan Tabacok.” ucap Yoyok pelan sambil mengocok botol kecil yang kata orang-orang ekstra pedas ini.
Entah karena kocokannya penuh emosi, tiba-tiba cipratan Tabacok bukannya mendarat di potongan Pizza, malah melayang ke dalam mata Yoyok. “BANGKE!” Teriak Yoyok tiba-tiba sambil memejamkan kedua matanya dalam sekejap.
Mata Yoyok serasa diperes macam kain pel. Anehnya, kedua mata Yoyok bisa bersamaan kena cipratan Tabacok, padahal sudah pakai pelindung: kacamata. Entah bagaimana caranya sambal ini bisa berdansa melewati lensa kacamata yang begitu tebal macam pantat botol, kemudian mendarat dengan apik di kedua mata Yoyok. Sambil menahan rasa sakit yang begitu mendalam, Yoyok harus menahan rasa malu yang tak kalah pilu seketika mendengar ledakan tawa Wiyan yang makin menjadi-jadi.
Pernah dengar yang namanya Lima Tahap Nestapa? Mari kita pelajari bersama melalui lima reaksi Yoyok kemudian:
“Kok bisa sih kena, padahal kan gua pake kacamata!” dimulai dengan tahap satu: Penyangkalan.
“Tabacok sialaaan, perih banget mata guaaa! Kenapa niat inovatif malah jadi apes gini!” Ini adalah tahap dua: Amarah.
“Mestinya tadi gua ngocok botolnya deket matalu, Yan!” dilanjut dengan tahap tiga: Umpama.
“Sumpah perih banget, kayaknya gua bakal buta…” yang ini tahap empat: Depresi.
Dan ditutup dengan tahap lima, Nerimo: “Kalaupun buta, gua masih bisa nonjok mukalu kok…”
Ketika Yoyok melewati kelima tahap tersebut, Wiyan hanya melewati satu tahap tenggang rasa yang dimiliki oleh semua orang: ketawain temanlu yang lagi apes.
Sambil tetap menahan rasa sakit, Yoyok sudah mulai bisa merasakan ada secercah cahaya yang masih menghampiri matanya. Wiyan juga bingung mesti ngapain, jadi dia lanjut ketawa aja. Malah kurang ajarnya, pas Yoyok akhirnya bisa membuka matanya kembali barang segaris, Wiyan sudah asyik menikmati pizza pesanannya.
“Mau ganti menu aja sampe nangis gitu,” kata Wiyan mengolok-olok mata temannya yang merah delima.
“Kampret…” sahut Yoyok pelan mengakui kekalahan, “lu bersekongkol ya sama Mba-nya buat ngasih gua Tabacok?”
“Apaan orang lu sendiri yang minta aneh-aneh!”
“Tabacok aja belain lu untuk menang…”
“Makanya, udah bener kita pesen menu favorit, Mba-nya aja udah bilangin.”
Dengan tarikan napas panjang, Yoyok mengakui kekalahannya, “iya, iya, dasar kompetitif.” Ujarnya seraya mengompres matanya yang masih nyut-nyutan. Semoga rasa pizza menu favorit bisa mengobati pilu kekalahan ini, pikirnya sambil mengunyah satu loyang.
Cerita berikutnya: Tirta Satu Malam
Satu pemikiran pada “5D.3: Lima Tahap Nestapa”