Surabaya – Part 1: Nasi, kuah, dan…

(tulisan ini adalah sekeping bagian dari perjalanan 1 minggu keliling Jawa berjudul Keliling By Request)

‘Disini duduknya?’, Tempe bertanya kepada Mihe yang memegang tiket, sekarang mereka bertiga sudah di dalam kereta.

Iya, paling belakang,’ Jawab Mihe santai.

KA Penataran ini adalah sebuah KA Ekonomi yang banyak digunakan untuk berpergian antara malang –  surabaya. Jadwalnya sendiri bisa didapatkan mudah di internet, misalnya disini. Untungnya, jadwal yang diberikan tersebut memang sesuai dengan keadaan nyata, jadi untuk Malang sendiri semua rencana berjalan dengan mulus.

Perjalanan dari Malang ke Surabaya akan ditempuh dalam waktu lebih kurang 3 jam. Berhubung ini adalah kelas ekonomi, kecuali anda punya motto hidup sleep any where, any time seperti Koya, kemungkinan tidur dalam perjalanan bukan opsi. Pedagang yang lalu lalang, sambil ‘meminjamkan’ barang dagangan mereka, penumpang yang keluar masuk, tempat duduk yang sempit. Tapi, yang paling buruk adalah posisi tempat duduk mereka bertiga yang kebetulan paling belakang. Jadilah wangi-wangi semeriwing toilet gerbong menemani perjalanan panjang mereka,

ngarep apa sih naik kereta modal Rp. 4.000,-?

Sekitar 30 menit sebelum sampai, Koya yang kebetulan sudah terbangun dari hibernasi bersambungnya mengatakan sesuatu yang tidak akan dilupakan oleh Mihe maupun Tempe,

‘Gw mau ke toilet nih,’ katanya, disambut tatapan tidak percaya dari 2 orang temannya.

Jarak 3 meter aja baunya begini, gimana masuk ke dalam?’, jawab Tempe, Gile lu ndro…

Dipikir-pikir, jangan-jangan si Koya ini kualat karena sempat menahan orang yang kebelet selama hampir 3 jam?

Gini, kita lihat aja nanti kalau ada yang ke toilet. Dia keluar lagi ga, masih idup ga,’ saran Tempe, memikirkan keselamatan teman-temannya.

Mihe dan Koya tampaknya cukup setuju, sambil sesekali menampilkan muka tidak percaya akan wangi menyengat yang dihirup hidung masing-masing, berharap-harap supaya ada orang yang bisa membuktikan keamanan toilet di dekat mereka. Untung saja, tidak lama setelah itu, memang ada seseorang yang berhasil lolos dari ruangan penuh misteri tersebut. Sekarang waktunya Koya memberanikan diri,

‘Doakan aku ya,’ permintaan Koya sambil mengambil langkah berat menuju toilet. Sementara Tempe dan Mihe hanya berharap supaya sampai akhir perjalanan, mereka tetap bertiga.

Luar biasa sekali, Koya berhasil melewatinya! Agak terburu-buru kembali ke tempat duduk,

Huuuuaaaah, abis tahan napas gue…’ katanya sambil membuang nafas yang panjang sekali, ada kali 2 menit ngehembusin nafas panjang-panjang. Terdengan riuh tepuk tangan yang meriah dari semua orang dalam gerbong, mengantri ingin memberi ucapan selamat kepadanya. Perlu rasanya memotong tumpeng sebagai perayaan, sayangnya yang ada tukang jualan nasi goreng sama kacang aja..

Masih dalam euforia perasaan bangga, tiba-tiba seorang petugas KAI melewati mereka dan masuk ke dalam toilet. Ya ampun, pas banget abis itu ternyata jadwalnya toilet dibersihin! Mihe dan Tempe pun tertawa, paling engga Koya udah achievement unlock: masuk toilet ekonomi tepat sebelum dibersihin. Good job!

Sekitar jam 3 sore, akhirnya KA Penataran bersama toilet-toiletnya yang baru dibersihin, tiba dengan selamat di stasiun Surabaya Gubeng.

Soto Ambengan Pak Sadi

Sayaaang sekali, karena mereka dipaksa buru-buru oleh perut yang keroncongan dari pagi cuma disetor es krim doank, stasiun yang satu ini kelewatan ga sempat didokumentasiin. Berhubung Gubeng ini sepertinya stasiun kereta api utama di Surabaya, pastinya berukuran besar dan tertata rapi. Sebelum mencari tempat makan, mereka bertiga memutuskan untuk terlebih dahulu memastikan akan menginap dimana malam ini. Nangkring bentar telpon beberapa hotel yang reviewnya bagus dan bersahabat dengan kantong, akhirnya mereka melanjutkan perjalanan.

Tujuan pertama begitu sampai di Surabaya: Soto Ambengan Pak Sadi!

Mungkin pembaca sudah ada yang pernah dengar, ataupun bahkan pernah mencicipi makan Soto yang satu ini, karena memang cabangnya banyak juga di berbagai kota besar. Nah, pada kesempatan ke Surabaya, Tempe yang sering makan Soto ini di cabangnya yang ada di Jakarta, menyarankan Mihe dan Koya untuk mencoba betapa gurih soto ayamnya. Beruntung sekali si Mihe dan Koya, pertama kali coba bisa langsung di tempat aslinya: Jl. Ambengan, Surabaya.

Gile ga sih, saking enak dan terkenal sotonya, nama ‘Soto Ambengan’ sampai dijadiin nama jalan! *digeplak*

Perjalanan dari Surabaya Gubeng ke Jl. Ambengan ditempuh dengan kendaraan favorit mereka bertiga: sepasang kaki masing-masing. Sebetulnya jalan kaki paling hanya 1 km saja, tapi karena perut keroncongan, 1 km itu terasa cukup berat. Tempe yang menyarankan untuk mencicipi soto ini pun tak berhenti berharap: udah jauh-jauh jalan gini, semoga soto ayam nanti bisa memuaskan Mihe sama Koya deh…

Letak restorannya sendiri tidak terlalu sulit untuk ditemukan. Mobil-mobil berjejer di depan restoran yang terkenal ini, sehingga mereka bertiga begitu tahu bahwa memang makanan ini pasti enak.

‘Padahal ini jam 3 sore, sama sekali bukan jam makan,’ pikir Tempe. ‘Kalau restoran udah ramai padahal bukan jam makan, pasti ada apa-apanya’.

Restoran yang sangat sederhana, bahkan mereka menyiapkan soto ayam-nya masih di gerobak yang diletakkan di depan restoran. Walaupun yang masak udah bukan Pak Sadi, tapi semakin ga sabar untuk mencicipi Soto Ayam Ambengan di Jl. Ambengan!

Begitu masuk, tidak ada menu yang diberikan. Pelayan yang datang langsung bertanya: Soto ayamnya berapa?  Paling oke ga sih restoran kayak gini, tahu mana muka-muka pelancong, dan langsung siap sedia mengeluarkan senjata andalan untuk menggoncang lidah mereka. Tiga ya, mas. Dipisah nasinya.

Setelah memesan minuman juga, sekitar 10 menit kemudian makanan yang mereka nanti-nantikan pun tersedia di depan mata, selamat makan!

Kelahiran Ratu Koya

Tempe masih dirundung perasaa gelisah, takut perjalanan kaki yang jauh dan panas dari stasiun berakhir sia-sia. Ia mau memastikan terlebih dulu si Mihe dan Koya menyukai Soto Ayam rekomendasinya ini. Mihe adalah yang pertama mencicipi kuah sotonya..

‘Gimana? Enak ga?’ tanya Tempe harap-harap cemas.

Mantap..’ jawab Mihe kalem, sambil langsung menyiduk sesendok kuah yang kedua.

Setelah itu, Tempe memalingkan mukanya ke arah Koya, yang sepertinya sudah menikmati rasa soto itu juga.

Wah lega, selamat makan!

Tempe yang sudah pernah merasakan kelezatan soto ayam satu ini kemudian berinisiatif mengambil kerupuk dan menuangkan setengah sondok bubuk merah yang ada di meja. Walaupun tidak pernah tahu bumbu macam apa itu, tapi rasanya enak kalo dicampur ke soto.

Melihat gelagat Tempe, akhirnya Koya dan Mihe pun mengikuti. Bubuk merah misterius itu dicampur juga ke soto. Sukses!

Tapi entah kenapa, Koya yang sedang asyik makan tiba-tiba berinisiatif untuk tidak mencampurkan bubuk merah itu ke dalam soto. Alih-alih mencampurkannya, ia mengambil dalam jumlah banyak dan justru dituangkan ke nasi. Beberapa siraman kuah soto menemani, akhirnya ia menyantap racikan barunya.

‘ini bubuk merah apaan sih?’ tanya Koya sambil tetap asik melahap nasi + soto + bubuk merah misterius. Berhubung Tempe engga tahu juga, dia menggeleng.

kayaknya koya.’ jawab Mihe sambil mencoba melihat toplesnya lebih dekat, ‘iya bener, koya‘.

Koya makan Koya
Berakhir sudah tuh nasib bubuk merah misterius setoples

Setelah di Jogja muncul Monster Tempe Goreng, Soto Ambengan baru saja menjadi saksi bisu kelahiran Ratu Koya, selama ini kita kenal sebagai Koya. Kejadian berikutnya tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, karena terlalu sadis dan sulit dipandang lama-lama. Semacam kesetanan, Koya menumpahkan segunung bumbu merah yang baru saja menjadi favoritnya, menuangkan kuah, dan menghabisi nasi di piringnya tanpa ampun. Kalau piringnya bisa diemut, udah diabisin juga kali.

gua bisa makan nasi, pakai koya sama kuah doank, UDAH BAHAGIA!’ teriak Koya di sela-sela kerakusannya. Baru kali ini Tempe dan Mihe melihat kelakuan Koya yang tidak terkendali begini. Keringat bercucuran, lengan baju dilinting, tangan yang tidak henti-hentinya bergerak dari piring ke mulut, ya ampun, pembantaian ini terlalu mengerikan.

Tempe yang heran sampai mencoba mencium bau toples bumbu merah misterius yang tadinya penuh itu,  ‘ini jangan-jangan dicampur ama ganja ya? Marikoyana mungkin?’ pikirnya.

iya ini sih pasti ada ramuan khususnya,’ tambah Mihe.

Sementara Koya tidak sanggup meluapkan perasaan bahagia-nya melalui kata-kata, ia hanya bisa mengekspresikannya melalui sebuah jempol. Terimakasih Pak Sadi, baru datang Surabaya langsung sukses!

Jempol Koya
2 Koya, piring kosong, dan sebuah jempol

Harga per porsi soto ayam Pak Sadi: Rp. 20.000,-. Kebahagiaan yang didapatkan: priceless…

Masjid Cheng Hoo

Asiknya lagi si Soto Ambengan ini, lokasinya dekat sekali dengan salah satu objek wisata di Surabaya yaitu Masjid Cheng Hoo. Sebuah masjid yang terkenal karena memiliki bentuk bangunan yang unik, bergaya oriental. Dari lokasi Soto Pak Sadi ke Masjid Cheng Hoo bisa banget jalan kaki. Apalagi sekarang perut udah terisi penuh, terutama si Koya, ayo berangkaaaat!

Seharusnya ini akan jadi jalan kaki yang mudah, kalau si Koya tidak tiba-tiba bertingkah seperti orang mabok yang bahagia ekstrim. Dia ga berhenti senyum-senyum, kadang-kadang menyanyi lagu acak, kemudian mengeluarkan suara-suara tidak jelas. Susah sekali ngobrol dengannya saat itu, kayaknya kakinya udah ga nyentuh tanah saking bahagianya, jalan aja udah ga lurus. Bahkan ia mengeluarkan lelucon sendiri, kemudian ketawa sendiri. Tempe dan Mihe semakin takut, jangan-jangan kalau tiba-tiba ada sumur dia main asal nyebur aja lagi…

Banyak orang lepas kontrol karena alkohol, tapi pernahkan anda lihat yang mabuk karena makan koya?

Tampak depan Masjid Cheng Ho
Masjid unik bergaya oriental

Perjalanan yang melelahkan secara mental itu berakhir di tengah perumahan. Seperti ada ruang serbaguna yang tertutup hanya oleh pagar-pagar tinggi. Di tengahnya terdapat lapangan basket, di sisi lainnya ada gedung bertingkat, dan terakhir baru terlihat Masjid Cheng Ho. Bangunan yang berwarna merah, tidak terlalu besar, tapi aura keunikannya langsung terasa.

Masuk ke kompleks Masjid Cheng Ho ini cuma-cuma, alias gratis tis! Semacam asal nyelonong aja…

Kapal di Masjid Cheng Ho
Kapalnya Cheng Hoo kecil banget ya

Ternyata bangunan ini bukan bangunan yang sudah dibangun sejak lama, masjid ini memang sengaja dibangun hasil donasi beberapa pihak yang berbaik hati. Dan kerennya, mereka menempelkan sebuah masterplan di dinding pada gedung yang bertingkat tadi, menceritakan impian mereka untuk membangun 1 komplek beraktivitas yang memang bergaya oriental seperti masjid yang sudah jadi. Kreatif banget!

Oh ya, untuk foto sendiri ada sebuah spot lucu di sisi masjid, seperti kapal kecil yang mengapung di atas air. Penjaga di masjid ini pun ramah, dan mereka sempat bertegur sapa dengannya. Sambil berusaha menenangkan Koya yang masih ngefly, Tempe dan Mihe memutuskan untuk beristirahat sejenak barang 10 menit sambil mempelajari arah jalan menuju hotel tempat mereka akan menginap malam ini.

Hotel Pavilijoen

Perjalanan dari Masjid Cheng Hoo ke Hotel Pavilijoen memang cukup jauh. Ini terasa semakin berat berhubung Koya masih belum juga sadar diri. Menyanyi sepanjang jalan, tertawa sendiri, kemudian berbicara dalam bahasa antah berantah. Semoga penderitaan ini cepat berakhir, pikir Tempe dan Mihe.

Jalur Jalan Kaki di Surabaya
Jalur yang dilewati sejauh ini, dari Stasiun Gubeng sampai Hotel Paviliun, dengan berjalan kaki! B dan C adalah Soto Pak Sadi dan Masjid Cheng Hoo.

Jalan yang ditempuh sempat melewati sebuah perumahan yang memang terletak di dekat Masjid Cheng Hoo. Disini masih asik sekali, sekitar jam 4 sore kala itu, masih ada anak-anak sekitar yang bermain bola di tengah jalan, lengkap dengan gambar lapangan sepak bola menggunakan kapur. Sementara ibu-ibu masih bersosialisasi di depan rumah, pemandangan yang sudah jarang terlihat di kota besar, bahkan tetangga aja belum tentu kenal. Gawatnya, ada sebuah panggung dangdut yang sedang disiapkan. Tempe dan Mihe harus menahan keinginan Koya yang sedang mabuk untuk naik ke panggung dan menyanyikan sebuah lagu dangdut, alamaak…

Hotel Paviliun
Suasana di dalam kamar

Pada akhirnya mereka sampai di hotel, langsung saja si Koya disuruh mandi duluan dengan harapan segera sadar. Ini adalah harapan terakhir Tempe dan Mihe, karena mereka dipastikan akan menyerah jika harus menghadapi Koya yang kesurupan begini lebih lama lagi. Dan betul saja, begitu selesai mandi..

hah, gue dimana?’ tanya Koya kebingungan sementara Tempe dan Mihe cuma bisa menepuk telapak tangan ke jidat, Surabaya facepalm!

Harga kamar Rp. 160.000,- dengan maksimal diisi 3 orang dewasa

(+) kamarnya luas, harganya murah banget, lokasinya super strategis, ada TV lagi!

(-) kamar mandinya sering bermasalah: air shower ga keluar, klosetnya kadang-kadang mampet

Iklan

3 pemikiran pada “Surabaya – Part 1: Nasi, kuah, dan…

  1. “Tempe dan Mihe harus menahan keinginan Koya yang sedang mabuk untuk naik ke panggung dan menyanyikan sebuah lagu dangdut”

    Kalo kejadian, mesti direkam tuh.

Gimana?

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s