Surabaya – Part 2: Mana nih yang ngaku-ngaku kota kembang?

(tulisan ini adalah sekeping bagian dari perjalanan 1 minggu keliling Jawa berjudul Keliling By Request)

Mereka datang ke kota yang satu ini hanya dengan 1 tujuan: Suramadu. Lalu kenapa engga langsung kesana aja? Menurut desas desus yang beredar dari berbagai sumber, jembatan penghubung 2 pulau ini lebih indah dikunjungi saat malam hari. Nah, berhubung mereka juga sekarang sedang 500km jauhnya dari kota awal, cuma berkunjung ke satu tempat doank? Mana tahan?

Berhubung Koya juga sudah sadar dari mabuknya yang sungguh menyiksa Tempe dan Mihe, jalan-jalan di Surabaya bisa dilanjutkan dengan tenang. Tapi, sekarang baru sekitar jam 6 sore, masih terlalu cepat untuk langsung menuju main attraction.

Ayo berkelana dulu di kota pahlawan!

Oh ya, salah satu kekurangan besar di Surabaya adalah informasi angkutan umum yang sangat sulit ditemukan. Belum lagi sistemnya juga sulit dimengerti, karena di angkot-angkot yang beredar di jalan kok ga ada info mengenai arah atau nomor. Apakah menggunakan warna untuk membedakan? Mereka akan lewat jalan apa? Sulit sekali dicari infornya di internet. Berhubung waktu mereka bertiga di Surabaya bisa dibilang singkat, kalau sampai nyasar itu rugi besar. Oke deh, dipikir-pikir hotelnya udah sangat murah, transport di Surabaya akan dilakukan dengan taksi jika kaki keberatan dengan jaraknya.

Melihat karakteristik yang dimiliki Surabaya dengan mall yang sangat besar dan transportasi umum yang kurang baik, sementara jarak 3 jam dengannya terdapat Malang, sebuah kota yang sejuk dan bisa jadi opsi wisata dengan Kota Batu-nya, bukankah fenomena ini mirip dengan kondisi di ujung jawa yang satu lagi? Ya, betul. Entah kenapa begitu melihat Surabaya-Malang-Batu, seolah mengingatkan kepada relasi yang dimiliki Jakarta-Bandung-Lembang. Menarik bukan?

Tapi, bener ga sih analogi tersebut?

Mari kita buktikan!

House Of Sampoerna

Objek wisata yang satu ini adalah salah satu yang menurut banyak pihak wajib dikunjungi. Entah kenapa? Awalnya mereka pikir, paling isinya rokok-rokok sampoerna dari dulu sampai sekarang aja kan? Apa yang spesial?

Sebelum berangkat ke lokasi house of sampoerna yang cukup jauh, mereka bertiga memutuskan untuk berjalan-jalan dulu di sepanjang Jl. Tunjungan, dengan Tunjungan Plaza-nya yang begitu terkenal. Sebetulnya niat mereka adalah untuk mencari agen bus yang menurut informasi dari suatu sumber, bisa didapatkan dengan mudah di sepanjang jalan ini, berhubung mereka akan menuju ke Solo keesokan harinya menggunakan bus.

Dan lagi-lagi, mana agen bus-nya??

Apakah terlalu malam? Atau memang tidak ada? Sepanjang jalan tidak terlihat petunjuk apapun akan keberadaan agen yang mereka cari. Daripada memikirkan agen-agen yang menghilang, mereka malah sibuk mengagumi tunjungan plaza yang begitu besar. Sebuah taksi pun melintas di depan mereka, melipir ke tepi jalan ketika panggilan terdengar.

House of Sampoerna ya pak!

Lokasinya sebenarnya tidak terlalu jauh, tetapi cukup dalam juga mereka harus meraba kocek untuk membayar tarif taksi sebesar Rp. 20.000,-. Yah, mahal juga ya, siapa suruh naik burung biru…

Toilet di HOS
Semacam toilet hotel bintang lima!

Memang tidak salah kalau House of Sampoerna ini disebut sebagai sebuah istana. Megah banget! Udah gitu, masuknya kayak diterima sebagai tamu. Ketok pintu dulu, permisi, terus ada yang bukain. Pengunjung dibebaskan untuk berkeliling, gratis pula. Bisa juga mengajak guide untuk menemani. Mau tahu seberapa megahnya “rumah” ini? Gampang, buat memberikan bukti, Tempe memutuskan untuk mengambil foto ruangan yang selalu jadi batas bawah dari suatu tempat: toilet-nya! Bener ini, kalau mau memeriksa seberapa bagus suatu tempat, aslinya, periksa aja toiletnya! 

‘Luar biasa! Ini toilet lebih bagus daripada kamar hotel yang kita sewa!’, pikir Tempe. Sayangnya cuma boleh ambil gambar toilet cowo doank, padahal kan penasaran juga sama isi toilet cewe. *ngaco*

Interior HOS
Bagian dalam HoS, cium deh, wangi kan?

Wewangian tembakau tercium jelas di rumah ini, tapi tidak seperti bau asap rokok, wangi yang ini bikin bahagia! Pada bagian depan ditampilkan sejarah awal berdirinya pabrik rokok sampoerna, kemudian akan terlihat sederet foto orang-orang penting dibalik kesuksesan rokok sampoerna.

Baru dibagian dalam semacam pameran kecil mengenai serba-serbi rokok sampoerna. Salah satu yang paling ditonjolkan adalah keberadaan marching band sampoerna.Koya yang mengklaim sebagai salah satu mantan MB kala muda dulu banyak mengutak-atik komputer berisi info-info alat musik dan seragam MB Sampoerna.Sementara Mihe, asik mempelajari sejarah dari rokok sampoerna.Tempe? Dia sibuk mengamati banyak sekali foto berbagai kalangan orang Indonesia asik menghisap rokok. Seru deh, tempat ini recommended banget!

Asik menikmati HoS
Gaya dikit di depan peta Indonesia yang kayaknya udah tua.

Nah, HoS ini terdiri dari beberapa bagian sebenarnya Ada bagian pameran tadi, lalu kalau naik tangga bisa ke bagian toko yang berjualan berbagai suvenir tentang House of Sampoerna dan Surabaya, kemudian ada juga pabrik rokok Sampoerna yang masih on-going! Tapi sayangnya, operasional pabrik tersebut hanya sampai jam 3 sore saja, sayang sekali mereka bertiga tidak bisa menyaksikan secara langsung proses “merakit” rokok sampoerna.

Lantai 2 HoS
Suasana lantai 2 (kepencet! jangan ditiru ya… )

Oh ya, di lantai 2 sendiri tidak boleh mengambil gambar menggunakan kamera, kayaknya sih karena ada beberapa batik bermotif unik yang gawat juga kalau sampai dicontek. Ya udah, numpang lewat aja deh di lantai yang ini.

Puas berpusing-pusing di dalam istana rokok, waktunya permisi dulu melanjutkan perjalanan. Nah, berhubung penasaran juga sama apa aja yang ada di pekarangan, jadi sempat celingak-celinguk juga. Ada mobil tua yang keren banget terparkir gitu, tapi sayang kondisinya gelap jadi ga boleh foto. Selain itu, ada juga restoran yang terletak tepat di samping rumah utama, tapi kayaknya mahal dan eksklusif?

Kya Kya

Gerbang Merah Kya Kya
Gerbang Merah Kya Kya, Kyaaaa..

Bukan, tempat ini bukan tempat orang-orang alay di Surabaya. Kya Kya adalah sebutan untuk pecinan di Surabaya. Tempat ini sama sekali bukan tujuan awal pada saat pergi ke Surabaya, karena kalau soal pecinan, incaran mereka adalah Semawis yang ada di Semarang. Tapi, berhubung perut lapar dan lokasinya tidak terlalu jauh, mampir sejenak kayaknya oke nih.

Di luar dugaan, tempat ini sepi buanget! Toko sudah pada tutup, gelap, mobil jarang lewat. Padahal biasanya yang namanya Pecinan itu ramai sekali, toko bertebaran di tengah jalan, orang lalu lalang, tapi yang ini cukup aneh. Setelah berjalan cukup jauh sepanjang pecinan, cuma ada sederet kecil tempat duduk dan 2 gerobak makanan. Oh ya, makanan di pecinan mah udah pada tau lah ya komposisinya apaan, ga perlu diceritain kan?

“Rasa Rumah”

Mereka bertiga memesan makanan dari kedua gerobak yang sedang berjualan, dari gerobak pertama pesen sate 20 tusuk, dan dari gerobak kedua Mihe dan Koya memesan bakmi. Selama ini, asal usul Tempe dan Koya selalu bernuansa konyol, tapi untuk Mihe, semuanya berbeda.

Asik makan He Mie
Sambil menyembunyikan mata yang berkaca-kaca, Mihe terus melahap makanannya.

Sementara Tempe dan Koya santai melahap makanan yang tersedia sambil bercanda gurau, Mihe tidak ikut berbicara dan tidak berhenti memasukkan mie yang ia pesan ke dalam mulutnya. Tempe yang mulai menyadari ada yang aneh kemudian bertanya..

‘Gimana? Enak?’, tanya Tempe diiringi keingintahuan Koya pula

… Rasa rumah,’ jawab Mihe sambil mengusap air matanya, ‘jadi kangen rumah…’.

Saat menjawab, kepalanya tetap tertunduk, seolah ingin menyembunyikan rasa rindu yang bakal jelas terpancar dari matanya. Memang Mihe ini sudah lama sekali tidak pulang ke kampung halamannya yang sangat jauh, Pekanbaru. Tapi, terimakasih Kya Kya, engkau baru saja mengembalikan kenangan indah Mihe melalui lidah. Kalau kata pepatah, dari mata turun ke hati, kalau Mihe, dari lidah turun ke hati. Sungguh mengharukan…

Tempe dan Koya ikut tersentuh dengan raut bahagia yang terpancar dari muka Mihe begitu selesai menghabiskan makanan di depannya. Tempe yang tidak ikut memesan makanan kemudian penasaran, makanan apa sih yang baru saja ia lahap?

He Mie,’ jawab Mihe. Mulai saat itu, makanan yang sederhana, awalnya pun bukan tujuan sama sekali, menjadi identitas berharga untuk aktor yang selama ini kita kenal sebagai Mihe, yang berarti He Mie (dalam bahasa Indonesia kan Mi he?).

Ngomong-ngomong, acara tali kasih antara Mihe dan rumahnya ini tiba-tiba menimbulkan rasa khawatir juga di benak Tempe. Jangan-jangan Mihe mau langsung pulang aja saking homesick sedang terasa?

Masih mau ngelanjutin jalan-jalan kan? Apa mau pulang aja?’ Tempe berusaha memastikan kepada Mihe.

Walaupun berat, tapi petualangan ini harus kulanjutkan..’ jawab Mihe. Sekali lagi, layaknya sewaktu Koya berhasil melewati cobaan toilet ekonomi, setiap orang yang juga sedang duduk menikmati makanan masing-masing memutuskan untuk memberikan tepuk tangan bagi Mihe. Mereka tahu itu berat, teringat rumah yang jauh di saat seperti ini, beberapa diantara mereka bahkan tidak kuat pula menahan setetes dua tetes air mata. Kamu hebat Mihe! Dunia bangga akan keberanianmu!

Kemudian, semuanya berakhir tiba-tiba, dengan pernyataan yang sangat indah dari Koya,

Udah yuk, kita ke Suramadu, udah malam nih..’

Siapa sangka sebuah kota yang awalnya sama sekali tidak ada ekspektasi tinggi, justru merupakan kota yang akhirnya menjadi tempat ‘kelahiran’ Koya dan Mihe? Surabaya pun patut disematkan predikat sebagai kota yang sukses!

Jembatan Suramadu

Ini dia tujuan utama ke Surabaya! Jembatan Suramadu ini lokasinya jauh sekali dari pusat kota, tidak mungkin dicapai dengan berjalan kaki. Seperti sebelumnya, perjalanan ke jembatan suramadu akan dilalui menggunakan jasa taksi. Dan, seolah tidak belajar dari pengalaman baru saja, mereka naik burung biru lagi, alamak dompet jebwol…

Tempe: ‘Ke jembatan suramadu Pak!’

Pak Mujiono (Supir taksi burung biru): ‘Mau kemananya jembatan suramadu?’

Tempe: ‘Ada tempat buat lihat-lihat aja ga sih, Pak?’

Pak Mujiono: ‘Oh, mau lihat-lihat. Ada kok, saya antarkan. Darimana ini?’

Tempe: ‘Dari Bandung, Pak…’

… dst

Untungnya supir taksi yang satu ini bersahabat sekali, mengajak ngobrol selama perjalanan yang jauh. Pak Mujiono ini banyak bertanya mengenai kegiatan selama di Surabaya, walaupun cukup kaget karena mereka bertiga belum pergi ke beberapa tempat yang menurut beliau harus dikunjungi, misalnya museum kapal selam.

Bahkan kami belum ke patung sura dan baya, Pak,kata Tempe sedih pada salah satu pembicaraan.

Pak Mujiono juga sempat bercerita mengenai bagaimana jembatan suramadu ini bisa meningkatkan perekonomian daerah pinggiran secara drastis. Bahkan, saat ini sedang ada proyek pembangunan pusat perbelanjaan di dekat Suramadu! Oh ya, salah satu cerita juga, beliau menyatakan bahwa ada seorang temannya yang sempat menawarkan rumah di daerah pinggiran tersebut, murah sekali, 50 juta rupiah sudah dapat rumah sederhana. Tapi beliau menolak, mau ngapain di pinggiran gitu, katanya. Tak disangka, ketika wacana pembangunan jembatan akhirnya keluar, harga rumah tersebut meningkat sampai 5 milliar!

‘Menyesal donk, Pak?’ Tanya Tempe iseng.

Menyesal sekali!’ Jawab Pak Mujiono sambil tertawa terbahak-bahak.

Selain menceritakan mengenai serba-serbi Kota Surabaya, beliau juga sempat menanyakan mengenai maksud penumpang-penumpangnya datang ke Surabaya. Begitu mendengar sebetulnya mereka sedang berkeliling Jawa, beliau dengan polos pun berkata

Wah harusnya ke Madiun juga!’

Ada apa Pak di madiun?’ Tempe penasaran sekali, Madiun? Kok tiba-tiba bisa kota itu yang disarankan?

Kalau Bandung kan katanya kota kembang, nah kalau Madiun itu.. hehehe.. Kota Gadis, Mas!’ sekali lagi Pak Mujiono tertawa diakhir jawabannya.

Jembatan Suramadu
Pemandangan dari tempat ngopi di dekat pintu masuk

Ada-aja saja supir taksi yang satu ini, tapi asyik juga banyak bertukar pikiran bersama beliau. Jadi pengen ke Madiun…

Tak terasa, karena begitu serunya pembicaraan, Jembatan Suramadu mulai terlihat di ujung jalan. Jembatan Suramadu tidak bisa disebut tol, menurut Pak Mujiono. Tempat nongkrong pun tersedia di dekat pintu masuk jembatan suramadu. Semacam tempat ngopi-ngopi, yang dulunya kosong melompong. Tidak salah tujuan yang satu ini, jembatan ini walaupun sederhana, memang terlihat indah.

Panjang jembatan Suramadu adalah 5,9km, tetapi kalau dilihat dari salah satu sisi, seolah-olah jembatan ini memang terlihat pendek. Bangkalan, Madura, masih terlihat di seberang sana. Walaupun jembatan ini akhirnya merusak bisnis penyeberangan menggunakan kapal, tetapi banyak sisi positifnya juga. Selama ini hanya diperbolehkan melihat jembatan yang kontroversial ini dari layar kaca, sekarang sudah bisa menjadi saksi mata, bahagia!

Kalau disini masih kurang jelas, mas. Saya ajak ke pantai kenjeran, disana lengkungannya kelihatan bagus!’ Kata Pak Mujiono memotong mereka bertiga selagi menikmati suasana di pinggir jembatan Suramadu.

Berhubung sepertinya tempat itu juga sedang ingin dipakai untuk keperluan acara tertentu, mereka bertiga memutuskan untuk mengiyakan ajakan Pak Mujiono. Namun sayang seribu sayang, jalan masuk ke pintu itu sedang ditutup. Menurut Pak Mujiono, kemungkinan besar disebabkan air pasang, berhubung saat itu bulan yang menyinari malam sedang bulat sempurna. Yah, kecewa!

Walaupun dirundung rasa sedih karena batal ke pantai kenjeran, sekarang waktunya kembali ke hotel dan beristirahat!

Kota Kembang, katanya…

Skip skip ke kesokan paginya.

Pagi sekali, sekitar jam 6, mereka sudah bersiap untuk berangkat ke Solo. Rencana awal, berangkat naik bus jam 8 pagi, kemudian sampai Solo bisa langsung naik wekudara yang sudah dipesan sebelumnya pada pukul 12 siang. Sempurna!

Berhubung akhirnya diputuskan bahwa bus yang akan digunakan adalah Bus Eka Cepat, mereka harus menuju PO Eka yang ada di daerah Sidoarjo, cukup jauh dari hotel. Kali ini, mereka memutuskan untuk tidak lagi menumpang burung biruAsiknya, ternyata supir taksi yang satu ini juga seru buat diajak bertukar pikiran, salah satu pendapatnya yang paling menarik:

Saya juga pernah ke Bandung. Penasaran juga, kayak apa sih kota kembang. Tapi pas saya dateng, mana kembangnya?? Malah Bandung macet, ga nyaman. Ini sih lebih bagus di Surabaya. Coba lihat, mas, sekarang banyak bunga ditanam kan? Jadi hijau, saya suka Surabaya sekarang. Mana katanya Bandung kota kembang? Masa kalah sama Surabaya?

Jleb banget kan? Tapi emang pas dilihat-lihat, Surabaya ini asri banget kota-nya. Jalanannya besar-besar dan tidak pernah terlihat macet. Pohon rindang, bunga berwarna-warni. Penasaran juga donk kok bisa kayak gini, maka dari itu Tempe pun bertanya

Ini memang dari gubernurnya ya, Pak? Kok bisa bikin Surabaya jadi bagus?’

Bukan, bukan gubernurnya. Tapi walikotanya! Sekarang walikotanya hebat sekali, banyak perbaikan yang kelihatan!’ sahut Pak David (Supir taksi) semangat sekali.

Sebelumnya, mereka bertiga tidak tahu mengenai walikota Surabaya, emang sehebat apa? Ternyata, memang belakangan ini sering terdengar mengenai rombakan-rombakan yang dilakukan oleh Ibu Walikota Surabaya ini. Keren! Sayang sekali tidak sempat diabadikan pemandangan sepanjang jalan, betah deh kayaknya tinggal di Surabaya. Bahkan Pak David juga menyarankan,

ngapain kerja di Jakarta? di Bandung? Sini di Surabaya aja, enak kan?

iya juga sih…

Suasana kota yang nyaman, keindahan jembatan Suramadu, dan supir taksi yang gaul-gaul sepertinya mampu membuat Surabaya berubah menjadi kota sukses pecah! Cuma sekitar 16 jam dihabiskan disini, tapi pengalaman yang didapat sudah banyak sekali!

Hah? Berapa Jam?

‘Rencana mau kemana abis ini?’ tanya Pak David.

Ke Solo Pak!’ jawab Tempe semangat.

Oh, yah paling 6 jam kalian sampai Solo, dapatnya bus yang berangkat jam 10 nanti, sampai Solo berarti sekitar jam 4.’ jawab Pak David santai. Tidak ada tanggapan dari Tempe.

APA? 6 JAM? LAMA AMAT???

kepanikan seketika mendera mereka bertiga. Iya juga ya? Bodoh amat bisa berharap Surabaya-Solo jalur darat bisa nyampe dalam waktu 3 jam? Dikira terbang busnya?

Berarti…berarti… semua rencana di Solo harus diubah donk? Udah pesen werkudara buat jam 12 siang hari ini pula…

Gimana dengan Semarang dan Cirebon? Bakal keganggu juga donk?

Pecinan Semarang gimana? Kan cuma buka Jumat-Minggu… Sekarang udah Sabtu, masa harus langsung ke Semarang? Solo gimana?? Belum lagi dari Solo ke Semarang juga rencananya pakai bus… Kacau…kacau… pening kepala ini…

Apakah mereka bertiga mampu melewati cobaan ini? Seperti apa adaptasi rencana yang dilakukan?

Nantikan di episode berikutnya! jeng jeng jeng…

Iklan

2 pemikiran pada “Surabaya – Part 2: Mana nih yang ngaku-ngaku kota kembang?

  1. Three wise monkeys? 😛
    Well, yes. Setuju. Udah lama banget sih sebelum terakhir ini ke Surabaya, tapi entah kenapa rasanya memang berbeda dengan dulu datang ke sana.

Gimana?

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s