56 begitu spesial belakangan ini. Angka ini disebut di berbagai media massa berulang kali, setiap membahas perubahan baru aturan penarikan iuran Jaminan Hari Tua (JHT) oleh Menaker. Uang yang sebelumnya bisa didapat bahkan ketika mengundurkan diri dari pekerjaan atau di-PHK, kini harus mengendap sampai umur kita mencapai angka magis 56.
Banyak yang protes, terutama kelas pekerja. Sejauh yang saya pahami, argumen yang seringkali dilontarkan adalah urgensi. Ketika baru kehilangan pekerjaan dan belum mendapat yang baru, uang JHT bisa menjadi penyangga sementara. Pemerintah menjawab argumen ini melalui dua poin. Pertama, ada jaminan baru namanya Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) sebagai gantinya. Kedua, bermain epistemologi: namanya aja Jaminan Hari Tua, ya baru bisa diambil saat sudah tua. Menurut saya, semua argumen dan jawaban tersebut salah sasaran. Masalah utama dari JHT adalah sifatnya yang wajib.
Hari tua tidak ada yang bisa menjamin
Siapa yang mengira tiga tahun lalu bahwa dunia akan segera berubah total akibat kemunculan pandemi Covid-19. Kalau anda bukan Bill Gates, mungkin anda dianggap mengada-ngada. Begitu juga dengan tiga tahun lagi. Siapa yang bisa menjamin bahwa kita akan kembali hidup normal seperti dahulu kala? Mau mempersiapkan selengkap apapun, akan ada hal yang kita pernah pikirkan, yang bisa tiba-tiba menyerang dan mengubah semuanya.
Munafik rasanya mempersiapkan masa pensiun di umur 56 ketika kita masih di bawah umur 40, atau bahkan 45. Pertama, tidak ada yang bisa menjamin bahwa setiap dari kita bisa hidup sampai umur 56. Selain itu, setiap orang boleh menentukan pada umur berapa berhenti bekerja. Apalagi tren Financially Independent, Retire Early (FIRE) sedang meningkat. Kenapa seseorang yang sudah bekerja selama 20 tahun dan merasa cukup mesti menunggu sampai umur tertentu sebelum diperbolehkan menikmati hasil kerja kerasnya.
Ketika memutuskan untuk menjadi penjamin hari tua, Pemerintah mengambil sebuah asumsi bahwa masyarakat tidak mampu mempersiapkan hari tuanya dengan baik. Asumsi ini sudah pasti ada, karena skenario sebaliknya tidak logis. Jika Pemerintah merasa rakyat bisa mengelola uang dengan baik, ya lebih baik uangnya diberikan saja, tidak perlu disetor ke Pemerintah. Asumsi ini sebenarnya tidak masalah, ketika kepersertaan layanan ini sukarela.
Sayangnya, JHT ini sifatnya memaksa. Karena wajib, setiap keputusan dalam mengelola uang tersebut mesti bisa dibuktikan keuntungannya bagi peserta. Itu kalau kita bertindak dengan asas good faith, yaitu JHT yang sepenuhnya memang ada karena ingin menjamin hari tua pesertanya. Tapi hari tua tidak ada yang bisa menjamin. Jadi keputusan menahan sampai usia tertentu, apalagi sama rata untuk semua orang, tidak akan bisa dibuktikan faedahnya secara cukup meyakinkan.
Ketidakcocokan Nama
Saya setuju ada ketidakcocokan nama JHT dengan peran asli iuran, tapi bukan bagian Hari Tua, lebih ke Jaminan-nya. Coba kita tengok bagaimana cara kerjanya. Peserta membayar iuran yang hanya bisa dicairkan jika ada terjadi suatu bencana, misalnya kehilangan pekerjaan, cacat permanen, atau meninggal. Skema seperti ini sudah ada namanya: asuransi. Ketika kita menghilangkan “kehilangan pekerjaan” dari daftar bencana, sebetulnya JHT ini mirip sekali dengan skema asuransi. Jika disebut Asuransi Hari Tua, cocoklah dengan fungsinya dan tidak akan membingungkan orang.
Tentu saja Pemerintah tidak bisa menyebut JHT sebagai asuransi, karena tumpang tindih dengan program sesama BPJS lain yaitu BPJS Kesehatan. Memang sih masih ada bedanya. BPJS Kesehatan akan sangat membantu ketika pendapatan kita tidak mencukupi pengeluaran penanganan penyakit yang mungkin kita alami. Ya, memang itu alasannya seseorang mau bayar premi asuransi. Sementara, JHT cuma menahan uang kita. Kalau kenapa-kenapa, ya kita dapat sejumlah yang kita setor. Terus, untungnya dimana?
“Untung donk, kita kan dapat lebih banyak karena uangnya diinvestasikan“. Nah, skema ini ada namanya juga yang lebih tepat yaitu mutual fund alias reksa dana. Menengok ke sifatnya yang wajib, lagi-lagi Pemerintah pasti enggan menyebut barang ini sebagai reksa dana, karena performanya akan langsung dibandingkan dengan berbagai macam produk reksa dana yang ada di pasar. Kalau Pemerintah tetap bersikeras mengelola dana seperti apapun imbal hasilnya, mungkin nama yang lebih tepat adalah Reksa Dana Wajib (RDW).
Sebenarnya RDW ga sepenuhnya buruk, paling engga Pemerintah mestinya transparan dengan alokasi dana. Jujur saja, misalnya dananya akan dipakai untuk membantu pembiayaan pembangunan IKN, daripada nambah utang luar negeri. Kemudian ada pengembalian dengan bunga yang ditentukan (atau bagi hasil, sama saja). Kalau bisa ngutang ke rakyat sendiri, daripada ke luar negri, ujung-ujungnya bisa membantu rakyat Indonesia sendiri kan. Dananya berputar membangun ekonomi bangsa.
Kepercayaan adalah Faith
Transparansi bisa membantu, tapi solusi paling baik menurut saya tetap satu: buat kepesertaan JHT menjadi sukarela. Menambah-nambah skema baru seperti JKP malah menambah runyam birokrasi. Kewajiban JHT saja sudah membingungkan faedahnya, ini lagi ditambah JKP. Jangan bilang harus install lagi aplikasi buatan Pemerintah yang selalu juara user experience-nya.
Di buku Die with Zero, Bill Perkins berargumen bahwa menyimpan uang warisan sampai anak terlanjur tua itu tindakan yang bodoh. Kalau kita mau memberikan uang untuk anak kita, semakin cepat semakin baik. Dengan tambahan kemampuan finansial, seorang anak jadi bisa lebih bebas menentukan apa yang mau dikerjakan ketika masih punya energi untuk melakukannya. Siapa tahu si anak pengin bungee jumping. Kalau mau ngasih duit aja mesti nunggu umur 56, keburu jantungan duluan. Apalagi, kalau sebenarnya uang tersebut memang hasil kerja anak itu sendiri.
Belakangan, Pemerintah sering bangga dengan meningkatnya jumlah investor dalam negri. Seperti layaknya anak yang baru beranjak remaja, pasti ada ajalah risiko berlebih yang diambil beberapa orang dan akhirnya merugikan. Tidak apa-apa, proses belajar. Ada anak yang kerjaannya beli permen terus setiap kali dapat uang sampai sakit gigi. Apakah solusinya jangan kasih anak itu uang? Ya engga, mestinya bekali pendidikan mengelola uang yang baik dan latihan terus kan. Sayangnya, pemikiran seperti ini rasa-rasanya akan sulit berkembang, karena butuh bumbu kepercayaan dari Pemerintah ke rakyatnya.