Dunia ini, panggung sandiwara. Begitu kata Nicky Astria. Dan layaknya panggung pertunjukkan lainnya, ada demam yang bisa menghampiri saat kita sedang tampil. Setelah menghidupi 15 tahun pertama hidup tanpa menyadari kehadiran demam tersebut, berikut pengalaman yang akhirnya membuka mata saya.
Sejak kecil, saya cinta mati dengan sepak bola. Tiada hari tanpa bermain sepak bola, apalagi setelah terinspirasi oleh Captain Tsubasa. Karena sudah akrab dengan sepak bola sejak kecil, saya termasuk mahir dalam mengolah permainan ini. Walaupun bukan di lapangan hijau, karena 90% sepak bola yang saya mainkan beralaskan aspal jalanan dengan selokan sebagai batas lapangannya. Rasanya, kalau bermain sepak bola, saya bisa mengekspresikan diri sepenuhnya.
Karena ketertarikan dan juga kemampuan yang cukup, saat SMP saya diberi kesempatan untuk mewakili sekolah sebagai bagian dari tim sepak bola. Jujur, sebetulnya saya merasa biasa saja, kalau dibilang senang ya karena bisa bermain sepak bola lebih banyak lagi. Latihan saya jalani, dan ketika latihan, sebetulnya saya bermain cukup baik. Ketika latih tanding pun, saya bisa berkontribusi dalam berbagai kemenangan tim. Namun, semua berubah ketika saya harus bermain di depan banyak penonton.
Dalam sebuah kompetisi dengan SMP saya sebagai tuan rumah, saya dipercaya bermain sejak menit awal. Dan ini pertama kalinya saya bermain dengan begitu banyak penonton dan kebanyakan juga saya kenal. Pada momen ini, entah kenapa saya tidak bisa bermain seleluasa biasanya. Tidak ada kepercayaan diri dan kaki terasa sangat kaku. Setelah beberapa kali melakukan kesalahan, pelatih memutuskan untuk menarik saya ke bangku cadangan. Saya masih ingat betapa saya merasa heran kala itu, apa yang terjadi? Mungkin beberapa kali saya memukul-mukul diri sendiri karena menyesal.
Hari itu tidak akan pernah saya lupakan. Pertandingan berakhir dengan kekalahan dan pelatih kami begitu kecewa hingga mempertanyakan niat kami untuk menang. “Apakah kalian memang sengaja mau mempermalukan saya?” demikian tuduhannya. Memang, dari sejarah panjang sekolah, mungkin baru tahun itu tim kami bahkan tidak lolos seleksi grup. Saya yang sebelumnya sudah merasa heran, kala itu merasa tertampar dengan pernyataan pelatih. Kenapa saya tidak bisa bermain seperti biasanya ya? Beberapa bulan saya tidak bisa menikmati bermain sepak bola seperti sebelumnya.
Semenjak pengalaman pahit tersebut, mata saya perlahan mulai terbuka. Ternyata saya punya kecenderungan grogi berlebihan ketika menjadi pusat perhatian. Karena grogi, saya tidak bisa bermain dengan leluasa seperti biasanya. Begitu menyadari hal ini, langsung saja berbagai pengalaman sebelumnya pun muncul menguatkan dugaan saya. Betapa sering saya merasa percaya diri untuk melakukan sesuatu, tapi dengan cepatnya kemampuan itu seperti menguap ketika berhadapan dengan tekanan. Awalnya saya menolak kesimpulan ini, karena saya tidak mau menganggap diri saya ini lemah. Pada akhirnya, justru dengan menerima kenyataan ini baru saya bisa mulai mencari jalan keluar.
Saat saya mulai menerima, perasaan marah tiba-tiba muncul. Kenapa baru saat itu saya sadar? Sebelumnya, saya hanya merasa memang tidak mampu ketika menghadapi kegagalan. Betapa banyak kesempatan yang saya lewatkan, andaikan saya sadar dan mempersiapkan terlebih dahulu.
Tujuan saya menceritakan pengalaman ini adalah untuk mengingatkan bahwa ada berbagai tipe manusia saat menjadi pusat perhatian. Ada yang menikmati, tapi ada juga yang langsung merasakan tekanan besar. Banyak orang memutuskan untuk mengatasi tekanan tersebut justru dengan menambah tekanan. Misalnya, dengan mengatakan pada diri sendiri: “tadi pas latihan bisa, kok sekarang ga bisa?” atau “saya memang tidak mampu melakukan ini”. Bagi saya, kata-kata tersebut justru semakin merusak mental, dan biasanya malah makin grogi. Hal paling baik adalah mempersiapkan diri kita sebaik mungkin, sehingga ketika grogi pun, masih bisa memberikan yang terbaik.
Saya menutup tulisan ini dengan berbagi tiga teknik yang saya terapkan untuk mengatasi demam panggung yang sudah pasti datang:
Pertama, latihan sampai enek. Tidak cukup latihan sampai bisa, harus sampai di luar kepala. Cara ini paling efektif untuk persiapan presentasi. Improvisasi tidak bisa diandalkan, karena biasanya malah kacau dan berbuntut menambah tekanan yang tidak perlu.
Kedua, ketika grogi berlebihan menyerang sampai pikiran kosong, obat terbaik adalah waktu. Ambil waktu sejenak untuk menenangkan diri, saya biasanya melakukan tiga kali tarikan nafas panjang. Biar saja penonton menunggu sebentar, waktu akan terasa lama untuk kita sendiri tapi tidak untuk orang lain.
Terakhir, lupakan ekspektasi penonton atau siapapun yang memberi tekanan. Tampil untuk alasan kita sendiri, paling baik karena memang kita senang dan percaya dengan apa yang kita lakukan. Biasanya, kalau sudah nyaman dengan apa yang kita lakukan, tekanan bisa berubah menjadi motivasi.
Kata salah satu iklan jam tangan: “Don’t crack under pressure“. Ya, kita harus bisa melakukan yang terbaik bahkan ketika di bawah tekanan, saya setuju. Sayangnya, banyak orang yang melihat tekanan sebagai sumber kelemahan dan berusaha melawan. Padahal, ketika dilawan, justru kita semakin banyak mendapat tekanan. Poin ini tidak hanya berlaku kepada diri kita sendiri, tapi juga saat kita melihat orang lain yang berada di bawah tekanan. Menambah tekanan dan menyebut lemah ketika gagal tidak membantu. Andaikan saya mengetahui ini sejak kecil, mungkin saya bisa lebih nyaman menggocek bola walau di hadapan banyak penonton.