Kau gak akan kuat. Pilih yang lain saja.
Jam sudah menunjukkan pukul 23.00 WIB. Biarpun matahari sudah lama tenggelam, Bima masih harus lembur di kantor. Ada pertanyaan dari tim bisnis mengenai data yang tidak lengkap. Sebagai seorang data scientist yang bertanggung jawab, ia harus segera menemukan alasannya. Otak Bima terus berputar bagaimana mengoptimasi query yang ada di depan matanya yang sudah mulai redup. Sesekali ia menguap, menahan kantuk. Pada akhirnya, ia memutuskan untuk menyeduh kopi untuk ketiga kalinya hari ini.
Terlewat lagi jadwal belajar daring hari ini. Padahal bulan ini Bima sudah bertekad untuk menyelesaikan materi statistik. Ia ingin bisa seperti rekan-rekan data scientist sekantornya, bisa hafal rumus chi-square dan t-test di luar kepala. Cas cis cus, prior dan posterior distributions. Wah, keren deh. Harus segera diselesaikan sehingga bisa lanjut belajar deep learning, pikirnya. Tapi, kapan ya?
Sambil menatap berapa lama lagi waktu yang ia butuhkan sampai query selesai, kalender di laptopnya mengingatkan bahwa besok jam 9 pagi ada presentasi dengan tim marketing. Mereka meminta sesi evaluasi efektivitas iklan daring kuarter sebelumnya. Aduh, belum menyiapkan slidenya dan belum latihan. Tidak mungkin menunda lagi, karena presentasi ini penting untuk menentukan strategi kedepannya. Datanya juga masih perlu diolah.
Di tengah pikirannya yang semakin semerawut, ia meraih cangkir kopi dan mendekatkan ke mulutnya. Sayangnya, karena kepanasan, beberapa tetes justru terciprat di kaos yang bertuliskan nama sang start-up kebanggaan. Tidak mungkin hari ini bisa lebih buruk lagi, gumamnya. Sambil mengusap kaosnya dengan tisu, ia kembali mengalihkan pandangannya ke layar komputer jinjing. Kemudian nampaklah proses query-nya yang sudah mencapai 95% berhenti mendadak bersama sejelumit pesan error berwarna merah.
Primadona itu bernama Data Scientist
Pengalaman Bima bukan hal yang unik. Tempo hari, saya membaca sebuah tulisan yang dibagikan melalui LinkedIn oleh seorang mantan data scientist. Singkat cerita, ia mencurahkan isi hatinya. Waktu luangnya selama ini dihabiskan untuk mempelajari perkembangan terkini. Tuntutan ini tidak sesuai dengan keinginannya yang masih memprioritaskan kehidupan personal. Kemudian ia memutuskan untuk beralih menjadi data analyst. Kini, ia dapat menghabiskan malam dengan membaca novel fiksi dan bercengkrama bersama keluarga di akhir pekan. Pada akhir tulisan tersebut, ia mengagungkan keputusannya dan memproklamasikan bahwa kini ia merasa lebih bahagia.
Sebenarnya data scientist itu apa sih? Kalau dilihat secara harafiah pada padanan dalam bahasa Indonesia yaitu ilmuwan data, ya intinya mereka yang ahli mengenai data. Nah, tantangannya: zaman sekarang apa sih yang tidak pakai data? Jadilah semua orang ilmuwan data. Karena kombinasi antara definisi yang mengambang dan aplikasinya yang terus melebar, data science menjadi sebuah ilmu gurita: anda mesti paham semua hal tentang data.
Fenomena gurita ini sebenarnya sudah diproyeksi sejak pertama kali bidang data science dicetuskan. Kini, salah satu publikasi ilmiah paling bergengsi di dunia data science, EMNLP, menerima 40% lebih banyak pengajuan setiap tahunnya, atau sekitar 30 kali lipat dalam 10 tahun dengan asumsi pertumbuhan yang sama. Itu baru dari satu konferensi saja loh.
Bagi yang keras kepala
Masih ingin menjadi data scientist? Ada dua pendekatan tergantung latar belakang anda. Pertama, tidak perlu menargetkan diri sebagai data scientist jika anda punya latar belakang industri atau aplikasi tertentu. Pertambangan? Bisnis? Anda tidak perlu kok tahu semua hal tentang data science, cukup yang berhubungan saja.
Kedua, untuk yang memang ingin fokus sebagai seorang data scientist, hati-hati terhadap cakupan yang anda pilih. Daripada terjebak pada pusaran segala macam ilmu yang dicampuradukan, pilih satu aplikasi yang anda tertarik: prediksi? inferensi? pengolahan gambar? visualisasi? Bebas. Tidak perlu bermimpi menjadi ahli dari segala hal.
Apakah tulisan ini bermaksud menyematkan data scientist sebagai sebuah profesi elit, yang hanya bisa ditekuni oleh orang-orang pilihan? Ya dan tidak. Ya, karena saya melihat banyak orang/perusahaan/media hanya ikut-ikutan “menjual” segala hal terkait data sebagai data science, padahal seringkali kurang tepat. Tidak, karena kita, terutama di Indonesia, masih butuh begitu banyak talenta ilmuwan data. Daripada akhirnya menyerah di tengah jalan karena tuntutan yang terasa berat, lebih baik saya coba peringkatkan dulu: kencangkan sabuk pengamanmu, kawan.
Featured image by Victoria Borodinova from Pexels.