Kalau hanya tujuan yang dipikirkan, kita akan mudah untuk menyerah. Mereka yang bertahan adalah yang mampu menikmati perjalanan.
Setiap perjalanan dimulai karena ingin mencapai suatu tujuan.
Untuk apa orang melakukan pendakian gunung, utamanya adalah untuk bisa mencapai puncak.
Dalam kehidupan, karena kita ingin menjadi sukses—apapun definisi suksesmu: berkontribusi untuk masyarakat, ingin kaya raya, ingin punya jutaan subscriber—maka dimulai juga perjalanan kita.
Seringkali, tujuan tersebut tidak sepenuhnya konkret, tertutup oleh kabut, atau bahkan terhalang oleh bukit lain di sekitarnya.
Aku juga punya sebuah tujuan dalam pendakian Papandayan ini: aku ingin foto langit malam yang bertabur bintang.
Tapi mana bintang itu? Memang tujuanku tidak terlihat dari kaki gunung, tetapi aku percaya bahwa tujuanku itu nyata, maka aku tetap lakukan perjalanan ini.

Tugas kita adalah tetap setia kepada tujuan, dan mencoba melakukan apa yang bisa kita buat sekarang.
Jalur pendakian biasanya sudah terbentuk, dibuat oleh mereka yang pernah memiliki tujuan yang sama. Kita bisa memilih untuk mengikuti jalur tersebut atau mencari jalur baru.
Dan pada awalnya, jalan terlihat begitu sulit dan berbatu.
Yang terpenting adalah kita tetap melangkah.

Berat bawaan itu sama, tetapi semakin lama semakin terasa berat. Ditambah terkadang hidung menangkap bau belerang yang menyegat. Mengingatkan kepada kadar oksigen yang mulai menipis.
Biarkan langkah itu datang silih berganti.
Sesekali jalan bercabang akan menghadang. Jika kamu adalah pemimpin barisan, kamu perlu mengatur langkah. Berjalan terlalu cepat maka barisanmu akan ketinggalan, terlalu lambat maka puncak tak kunjung tiba.
Jangan lupa kamu perlu menentukan jalan mana yang akan ditempuh. Walau tidak banyak, tanda di sepanjang jalan itu ada untuk kamu bisa melihat dan mempertimbangkan keputusan mana yang tepat.
Jika kamu bukan pemimpin barisan, kepercayaanmu terhadap ia yang paling depan akan diuji. Jangan mengikuti begitu saja, tetapi ketika akhirnya setuju untuk mengikuti maka tinggalkan keraguan.
Dan pemimpin tidak selamanya hanya yang terdahulu, ia yang paling terakhir juga memegang peranan penting untuk memastikan bahwa setiap anggota barisan menjaga jarak dan bisa mengikuti.
Uniknya, pendakian itu tidak selalu mendaki.

Jika di depanmu hanya ada jalur menurun, tak perlu panik, gunakan untuk istirahat sejenak.
Seringkali manusia memaki kita diberikan masalah. Sedang banyak pekerjaan, tiba-tiba jatuh sakit. Atau ketika mendapat penolakan. Atau ketika putus cinta.
Justru ia yang mampu memanfaatkan waktu istirahat dengan baik adalah yang bisa mencapai tujuan.
Buat apa terburu-buru. Siapkan diri dengan baik untuk mendaki lagi.
Kemudian dalam perjalanan menuju puncak, kematian itu akan datang.
Ya, para pendaki sebelumnya pun bercerita bahwa di Papandayan ada Hutan Mati yang begitu indah.
Batang itu menjulang, tapi tak berdaun; bagai fisik yang berdiri, tapi tak berjiwa.
Tanah yang tandus akibat belerang yang kamu hirup sepanjang perjalanan. Aroma yang sudah merasuk ke dalam paru-paru. Ada harga yang harus kamu bayar untuk bisa mencapai puncak.
Jangan berlama disitu, hindari diri dari cepat puas. Biarpun banyak yang lain, yang langkahnya terhenti, namun tujuanmu adalah puncak.
Biarkan mereka berhenti, langkahmu harus tetap dipacu.
Masa kan kau jadikan kematian sebagai akhir?

Namun, siapa bilang setelah itu semua akan lebih mudah?
Justru pada langkah-langkah terakhir sebelum mencapai puncak adalah langkah terberat. Di tengah jalur itu kamu mulai bertanya, apakah ini jalur yang tepat? Kenapa jalur ini sangat berliku? Apakah semua akan terbayar di puncak nanti?
Terlalu banyak berpikir dan cemas hanya memperberat langkahmu. Lihat ke sekitarmu, saling kuatkan satu sama lain, dan melangkah bersama. Semua pertanyaan itu hanya bisa dijawab oleh kekuatan tekadmu saja.

Dalam hamparan bunga Edelweis kamu mengucapkan selamat kepada dirimu sendiri.
Bunga Edelweis yang tak pernah layu, akhirnya tiba juga kamu pada keabadian.
Bunga Edelweis perlambang pengorbanan. Semua jalur yang berliku, menanjak, dan berbatu itu mencapainya.
Jadi, menurutmu apakah semua usahamu itu terbayar?
Aku bilang tidak, jika kamu hanya melihat hasil akhirnya saja.
Embun pagi yang masih menempel pada wajahmu mengingatkan akan pemandangan selama perjalanan. Sepatu yang koyak adalah bukti nyata usahamu.
Hasil kerjamu bukan hanya hamparan Edelweis yang akhirnya kamu capai; setiap langkah dan nafas yang terengah-engah adalah sia-sia jika tidak kamu anggap.
Biarkan mata itu menangkap padang rumput yang luas, kekayaan alam beralaskan awan dan bercahayakan matahari pagi.
Nikmatilah semua yang sudah dilalui, kemudian jangan lupa bersyukur. Bersyukur akan menambah nikmatmu.
Ketika turun nanti, aku akan berkata: “Puncak Papandayan hanya begitu saja, padang Edelweis sejauh mata memandang. Justru pendakian Edelweis dengan segala variasinya adalah yang tak akan terlupakan.”
Lalu aku akan memejamkan mata dan membayangkan kembali keindahan taburan bintang dalam dinginnya malam yang menembus 3 lapis pakaian.
Walau bibirku membeku, tetapi aku tidak bisa menahan sesimpul senyum ketika kutatap permadani alam semesta kala itu.
“Daripada foto bintang, lebih baik foto singkong,” sahut salah satu penjaga warung di area camping kala itu, dalam bahasa sunda.
Sejujurnya aku setuju, sombong namanya berusaha menangkap keindahan malam itu dan mengurungnya dalam dua dimensi. Hanya dengan mata kita sendiri lah kita bisa secara adil menghargai dan mengaguminya.
Seiring terbitnya cahaya mentari, aku teringat satu hal lagi yang tidak akan bisa ditangkap secara penuh oleh kamera.
Jika kamu ingin berjalan cepat, berjalanlah sendirian. Jika kamu ingin berjalan jauh, berjalanlah bersama-sama.
Peribahasa Afrika
Salah satu cara untuk menghangatkan diri adalah dengan kebersamaan. Dan cara terbaik untuk membakar semangat adalah dengan tertawa bersama teman-teman.
Kamu tidak akan bisa mencapai puncak sendirian; kamu tidak akan bisa menjalani hidup sendirian.
Jika pun dapat, apa artinya? Kebahagiaan adalah terbaik jika dirasakan bersama-sama.
Jadi, ingatlah selalu mereka yang telah berjasa dalam hidup. Ketika kelak mencapai puncak, itu bukan pencapaian diri seorang. Apalagi mereka yang telah memberikan arah bagi yang lain supaya juga bisa mencapai puncak. Semua itu bukan semena-mena hanya langkah yang mengantarkan.
Gunung dimana kita berdiri terbentuk dari kontribusi orang lain pula.

Berdiam selamanya di puncak mungkin menggoda, tapi masih banyak puncak lain yang bisa kamu capai. Mari selesaikan pendakian kali ini dengan kembali ke bawah.
Sebetulnya tidak ada yang mewajibkan kita untuk kembali dan membantu mereka yang belum berkesempatan mencapai puncak. Tidak ada yang mengharuskan kita untuk bercerita dan berbagi. Namun, dengan melakukan apa yang kita bisa untuk mereka yang masih belum memiliki keberanian atau belum punya sumber daya untuk mendaki, niscaya nikmatmu kan berlipat ganda.