“Sunrise mana yang paling bagus menurut lu?”
“Nomer 1, Prau sih…”
Sudah dua kali jawaban ini terdengar oleh Tempe. Dan pertanyaan ini diajukan ke 2 orang yang sebetulnya sudah naik beberapa gunung, kok bisa jawabannya kompak?
Namanya juga Tempe, daripada penasaran kenapa bisa jawabannya sama, langsung aja coba kita lihat sebagus apa memang sunrise di Prau…
Konyolnya, Tempe tentukan sendiri tanggalnya tanpa memperhitungkan musim sama sekali. Sebaiknya tidak ditiru ya, musim hujan kok naik gunung… tidak tanggung-tanggung lagi, ramalan cuaca kala itu mengatakan pada tanggal pendakian cuacanya: THUNDERSTORM!
Rencana awal rombongan hanya terdiri dari 4 orang, pada akhirnya menjadi 10 orang. Selain jumlah rombongan yang tidak sesuai rencana, perjalanan yang tadinya didesain a la backpacker ini berubah menjadi fastpacker, pulang pergi naik kereta eksekutif.
Sang ketua geng pun bergumam, “baru kali ini saya naik gunung pulang pergi naik kereta eksekutif“.
Tarif KA Purwojaya:
Gambir – Purwokerto: Rp. 250.000,00
Purwokerto – Gambir: Rp. 240.000,00
Belinya di Traveloka ya! *pesan sponsor
Menurut kabar burung yang berterbangan di jejaring internet, Prau adalah salah satu gunung dengan jalur pendakian yang paling ramah pemula. Mereka selalu membahas soal waktu, cukup 3 jam sampai ke puncak. “Kalau gaya Mapala, 2 jam juga bisa sampai,” pungkas ketua geng. Mendengar itu, yang lain ngangguk-ngangguk saja, belum tahu apa yang akan mereka hadapi.
Budget per orang
- Kereta PP Jakarta – Purwokerto: Rp. 500.000,00
- Transportasi Purwokerto – Dieng: Rp 140.000,00
- Transportasi Dieng: Rp. 25.000,00
- Sewa peralatan: Rp. 55.000,00
Total per orang: Rp. 720.000,00 (belum termasuk makan, minum, jajan)
Itinerary
Day 1
- 21.00 – 03.30: Jakarta – Purwokerto
Day 2
- 03.30 – 05.00: Istirahat sejenak di stasiun, sholat
- 05.00 – 09.00: Stasiun Purwokerto – Dieng
- 09.00 – 10.00: Makan pagi
- 10.00 – 13.30: Keliling Dieng 3 Spot (Candi Arjuna, Kawah Sikidang, Batu Ratapan Angin)
- 13.30 – 14.00: Perjalanan ke Patakbanteng
- 14.00 – 15.00: Makan siang, persiapan mendaki
- 15.00 – 18.00: Summit Attack
- 18.00 – 19.00: Mendirikan tenda
- 19.00 – 20.00: Masak, makan malam
- 20.00 – 22.00: Bebas
- 22.00 – 04.00: Tidur
Day 3
- 04.00 – 07.00: Sunrise, jalan-jalan sekitar puncak Prau
- 07.00 – 08.00: Beres-beres tenda, bersih-bersih sampah
- 08.00 – 09.30: Turun gunung
- 09.30 – 10.00: Istirahat di Patakbanteng
- 10.00 – 13.00: Perjalanan ke Purwokerto
- 13.00 – 14.00: Makan siang
- 14.00 – 15.00: Melanjutkan perjalanan ke Purwokerto
- 15.00 – 16.00: Istirahat di Stasiun Purwokerto
- 16.10 – 21.15: Stasiun Purwokerto – Gambir
Carter Angkot
Perjalanan dimulai dari Gambir dengan kereta Purwojaya jam 9 malam menuju Purwokerto. Kereta terjadwal sampai di Purwokerto sekitar jam 3 pagi. Rencana mereka adalah beristirahat sejenak sampai jam 5 pagi, kemudian naik angkot menuju terminal Purwokerto untuk kemudian naik bis menuju Wonosobo.
Setelah sampai di Purwokerto pada jam yang dijadwalkan, beberapa memutuskan untuk bersih-bersih ngepel stasiun bilas muka dan sikat gigi, yang lain membeli roti di betamart 24 jam. Berhubung naiknya kereta eksekutif, tidur nyenyak terjamin, jadi semuanya terlihat refreshed dan siap melanjutkan perjalanan.
Sekitar jam 4 pagi, seorang Bapak penjaga toko duduk di dekat rombongan mereka yang sedang beristirahat, beliau menanyakan tujuan kami.
“Ke Prau, Pak.” sahut ketua geng menjawab
“Kalau mau ke Prau, mendingan sewa angkot dari sini langsung dibawa ke pos pendakian.” ternyata Bapak ini mau menawarkan jasa transport
Anggota rombongan yang lain tidak banyak bicara ketika ketua geng dan Bapak Toro, sang penjaga warung nyambi juragan angkot, bernegosiasi. Pertimbangannya:
- dari segi waktu, sewa angkot langsung menuju Dieng memang lebih menguntungkan. Mereka bisa langsung berangkat jam 4 pagi tanpa perlu menunggu angkot ke terminal dan perjalanan hanya memakan waktu 4 jam.
- dari segi harga, berhubung rombongan terdiri dari 10 orang, harga angkot tidak berbeda jauh dari harga ketengan.
Let’s go with sewa angkot!

Sewa angkot dari stasiun Purwokerto menuju Dieng: Rp. 700.000,00 include bensin.
Hitung-hitungan ketengan dari stasiun Purwokerto ke Dieng: Rp. 65.000,00/org
Kawasan Wisata Dieng
Keputusan untuk menyarter angkot dari stasiun sungguh tepat. Walau suasana di dalam angkot tergolong cukup memaksakan, berdesak-desakan dan posisi tidur yang tidak seperti manusia lagi, Dieng bisa dicapai dalam waktu 4 jam. Sekitar pukul 9, rombongan sudah mendarat di dataran tinggi Dieng. Suasana dataran tinggi yang familiar sekali, Tempe sampai kebingungan, kok bangun-bangun bisa sampai Lembang?
Dari jam 9 sampai jam 10, mereka memutuskan untuk singgah sejenak di salah satu rumah makan. Kata sejenak dicetak tebal dan digarisbawah karena rencana sejenak berubah menjadi numpang tidur. Untung sang penjaga rumah makan tidak keberatan ya, duh kelakuan orang kota seenaknya saja…

Deal dengan Bapak Supir untuk mengantar berkeliling Dieng (3 spot): Rp. 250.000,00 dan jemput dari Dieng kembali menuju Stasiun Purwokerto: Rp. 700.000,00
Candi Arjuna
Rencananya pendakian akan dimulai paling telat pukul 3 sore, jadi mereka masih punya sekitar 5 jam untuk berkelana di Dieng. Objek wisata pertama yang dikunjungi adalah Candi Arjuna, yang sejujurnya tidak spesial. Kala itu, Candi ini juga sedang dipugar. Ya tapi tidak apa-apa, berjalan-jalan sejenak menikmati udara Dieng.

Tiket masuk Candi Arjuna dan Kawah Sikidang Rp. 15.000,00/org
Kawah Sikidang – Tuhkan bener, kayaknya ini Lembang deh!
Tempe tidak habis pikir, kawah Sikidang ini mirip sekali dengan kawah putih. Apakah memang tiap provinsi di Pulau Jawa harus punya tempat semacam ini? *lirik Ijen

Batu Ratapan Angin – alias Tebing Keraton
Nah, ini dia spot paling instagram di Dieng. Coba aja googling, filter-filter bertebaran fotonya bagus-bagus banget. Nah sayangnya, spot paling tingginya sudah dikasih semacam pagar pengaman Karena tahu pagar tersebut bakal mengganggu ke-instagram-an foto, mendingan ambil spot yang sedikit lebih rendah tapi langsung berhadapan dengan jurang.

Tiket masuk Batu Ratapan Angin Rp. 10.000,00/org
Di spot ini sebenarnya ada sebuah jembatan terkenal dengan nama Jembatan Merah Putih, sayangnya berhubung waktu sudah menunjukan pukul 1 siang, mereka memutuskan untuk segera beranjak menuju pos pendakian.
Patakbanteng
Sekitar pukul 13.30 WIB, mereka sudah tiba di pos pendakian Patakbanteng. Sebelum berangkat meregang nyawa, makan sejenak bukan ide yang buruk. Bermodalkan oseng, buncis, dan telor ceplok mereka akhirnya siap!
Patakbanteng hanya salah satu jalur pendakian ke puncak Prau. Jalur ini terkenal karena jarak paling dekat dan waktu pendakian yang paling cepat. Pada pos pendakian juga dimudahkan dengan sarana penyewaan alat mendaki, misalnya: alat memasak, tenda, matras, dan pasangan hidup sleeping bag. Harga bervariasi sekitar Rp. 10.000,00 – Rp. 15.000,00 / item.
Baru juga memulai mendaki dan jalan sudah terpecah menjadi dua.
“Ini kemana yak?” tanya Tempe dengan suara keras ke belakang
“Ke atas!”
Dua orang anak SD yang sedang berjalan pulang ke rumahnya lah yang menjawab Tempe. Sambil tertawa kecil menahan malu, Tempe berterimakasih kepada dua anak itu yang tetap melanjutkan perjalanannya bahkan tanpa memalingkan muka sama sekali.
Summit Attack
Yak, treknya sendiri cukup unik:
- dari pos patakbanteng menuju pos 1 dimulai dengan ratusan anak tangga, pemanasan yang luar biasa. Berhubung masih permulaan, masih ada tali untuk berpegangan. Tipsnya, pastikan langkah tidak terlalu cepat supaya lelah datang perlahan saja.
- di akhir anak tangga, ada sebuah jalan yang sebenarnya bisa dilewati oleh motor (oh ya, naik Prau bisa naik motor sampai pos 2). Berjalan sekitar 200 meter dan tanda Pos 1: sikut dewo pun terlihat, menemani beberapa tukang ojek dan pemeriksa tiket.
- pos 1 ke pos 2 juga akan melewati tangga, yang terbuat dari tanah! Untungnya waktu itu mereka pergi bukan pada musim panas, sehingga tanah sedikit basah justru ideal dan tidak licin. Akan ada beberapa tempat untuk duduk sejenak, bahkan ada yang jualan bala-bala.
- pos 2 ke pos 3 semakin seru, treknya masuk ke arah hutan dan pemandangannya sudah mulai menyejukkan. Kemiringan masih bisa ditoleransi, tantangannya adalah nafas yang sudah mulai ketinggalan dan dikala musim hujan terkadang licin.
- pos 3 ke puncak adalah pendakian yang sesungguhnya. Bisa dibilang treknya lama-lama akan menghilang berganti banjir peluh, tingkat kemiringan yang bikin nyali ciut, dan lika-liku pendakian yang menyaingi lika-liku kehidupan. Hingga mendekati puncak, trek semakin miring, seringkali 1-2 langkah cukup memaksa Tempe untuk beristirahat sejenak. Untungnya, setiap kali semangat mulai kendor, tinggal nengok ke sekeliling dan voila… instant motivation!

Walau tiada pawang hujan diantara rombongan Tempe (yang Tempe tahu, sih), tapi ramalan cuaca yang kompak dikatakan beberapa sumber ternyata tidak tepat! Memang sih sempat mendung dan sempat gerimis barang 5 menit, tapi setelah itu cuacanya tidak bisa lebih ideal lagi, deh!
Saat pendakian menuju puncak dari pos 3, salah satu anggota rombongan yang kakinya memang sedang cedera mengatakan ia sepertinya tidak sanggup menahan rasa sakit yang ada di kakinya untuk melanjutkan pendakian. Tentu saja anggota lain, yang sudah kelelahan, kebingungan apa yang harus dilakukan. Pelajaran berharga diberikan oleh ketua geng, dengan mantap ia mengatakan
“Kalau satu turun, semua turun”
awalnya kata-kata itu terdengar keras, bukankah konsep tersebut justru akan membuat yang bersangkutan merasa tidak enak karena ia merepotkan anggota tim yang lain?
Namun, sejenak coba dipikirkan, naik gunung memang bukan tentang masing-masing anggota, ini adalah perkara satu tim. Jika tiap anggota hanya memikirkan diri sendiri, niscaya gunung akan menghabisi kalian. Dengan pola pikir “satu turun, semua turun” setiap anggota tim dipaksa untuk selalu memikirkan satu sama lain, selalu memikirkan cara terbaik supaya seluruh anggota bisa mencapai puncak bersama, karena mencapai puncak sendirian bukan opsi sama sekali.

Bicara memang gampang, toh? Tapi sekarang bagaimana solusinya supaya semua anggota tetap bisa mencapai puncak? Dengan bawaan yang sudah mencapai 10kg, sang ketua geng menawarkan diri untuk membawakan ransel anggota yang keseleo, juga. Dengan dua tas segede dosa kini ditenteng oleh ketua geng, satu tim dapat melanjutkan pendakian.
Ini orang gila apa sinting, pikir Tempe.
Berani bicara, berani berbuat!
3.5 jam sejak memulai pendakian, di tengah kabut yang mulai menyelimuti dengan hawa dingin, Tempe yang penglihatannya sudah mulai kabur dan hela nafas yang sudah mulai kasbon melihat warna-warni di kejauhan berbentuk tenda yang sudah didirikan.
Akhirnya sampai juga!
Camping
Ternyata perjuangan belum usai kawan! Jangan kira begitu sampai atas maka bisa langsung guling-guling sambil ngorok, mau tiduran dimana coba? Tanah?
Yak betul, setelah berberat-berat ria membawa tenda seberat 3kg sebanyak 3 buah, sekarang waktunya mendirikannya. Proses pendirian tenda terbilang mudah, padahal ini pertama kali untuk Tempe. Mungkin berkat panduan dari ketua geng yang sudah sangat berpengalaman juga…

Di puncak gunung, kita tidak punya hiburan apa-apa selain satu sama lain. Sinyal tidak ada, mau foto-foto pun gelap, apalagi udara dingin. Ada lagi salah satu anggota rombongan bercerita horor sambil tetap bersikeras bahwa yang ia ceritakan itu bukan horor. Ketika melihat satu tim bisa berkumpul dan ngobrol tanpa peduli waktu, kamu akan merasakan bahwa setiap langkah pendakian dan keringat itu sungguh terbalaskan. Priceless.
Sambil ditemani indomie hasil berebut, masing-masing mulai bercerita mengenai apapun. Obrolan pun sampai menyentuh topik yang tergolong personal. Namun, diantara momen mengharukan dan inspiratif, ada saja celetukan-celetukan yang aneh tapi nyata.
Ada yang mengaku pernah di-bully waktu kecil karena… believe it or not… GANTENG.
Ada juga yang curhat, pernah berhenti mem-bully seseorang karena ternyata orang yang di-bully tidak sadar bahwa selama ini ia sedang di-bully.
Ada pula yang mengaku dulu ia playboy (dengan mantan pacar yang tidak terhitung-red), dan sekarang sudah insyaf karena pernah ditolak mentah-mentah oleh seorang wanita.
Setiap cerita terasa sungguh berharga malam itu. Gelak tawa yang sesekali meledak dan langit yang bertaburan bintang, niscaya pengalaman semacam ini akan terkenang seumur hidup.

“Kalau mau tau sifat asli seseorang, ajak naik gunung”
– ketua geng
Sunrise Paling Indah
Tempe sudah bangun dari jam 3 pagi. Begitu keluar dari persembunyian, ia dikagetkan oleh pemandangan sekitar yang kini sudah dipenuhi dengan begitu banyak tenda! Berarti ada banyak pendaki yang mengeksekusi pendakian pada malam hari? Edan!
Sambil menatap iri beberapa tenda yang ngepul karena kopi panas, Tempe menunggu datangnya fajar. Namun justru ketika fajar mulai menyingsing, Tempe tidak siap akan betapa indah pemandangan yang ada di depan matanya.


Yap, harus Tempe akui, akan begitu sulit menyaingi sunrise yang satu ini. Tidak ada salahnya untuk sejenak memejamkan mata dan bersyukur akan kesempatan yang begitu berharga. Sayangnya justru ketika kembali membuka mata, ada yang cukup mengganggu pemandangan; si playboy yang ngakunya sudah insyaf sedang meluncurkan modus operandi bawah tanah…

Sampai Jumpa Lagi, Prau!
Setelah sunrise, tidak ada salahnya berkeliling sekitaran puncak Prau. Ada banyak spot untuk mengambil gambar dan ber-selfie ria. Salah satu spot berhasil memberikan tanda sukses pada perjalanan kali ini karena memberikan 400 likes pada salah satu post instagram anggota rombongan. Maknyos!
Sayangnya berhubung jadwal kereta pulang sangat ketat, tidak banyak waktu bersantai yang dimiliki. Siap tidak siap harus turun gunung juga.
“Pastikan kita berjumpa lagi, Prau,” kata Tempe dalam hati. Ucapan perpisahan tersebut dijawab Prau dengan pemandangan yang tidak akan pernah dilupakan Tempe.

Honorable mention untuk ketua geng dan anggota rombongan yang lain, kalian keren!