Malam itu begitu dingin, namun keringat tetap bercucuran. Tempe sudah membaca mengenai pendakian yang cukup menguras tenaga ini, dengan berbagai peringatan yang diberikan oleh para pendahulu lain. Sayangnya Tempe menganggap enteng semua peringatan itu,
“Sudah pernah jalan 1 jam kok waktu ke Tebing Keraton,” pikirnya. “Apa sih artinya nambah 1 jam lagi aja?”
Tempe tidak pernah sesalah ini. Jalur yang terjal, oksigen yang terasa menipis, dan rombongan pendaki yang begitu ramai, semua seolah menghukum Tempe atas kesombongannya.
Pendaki ecek-ecek
“Kita sudah sampai di pos timbang,” kata pemandu rombongan Tempe.
“Istirahat sedikit di atas saja, disini ramai”
Udara dingin seolah menusuk menembus 3 lapis pakaian Tempe, ya ampun ini kaos dalem sampe udah basah kuyup. Tentu saja sensasi aneh yang biasa terasa saat berjalan jauh di tempat yang dingin datang membawa dilema: angin banyak, suhu jelas rendah, tetapi badan terasa gerah karena berkeringat. Godaan untuk membuka jaket sungguh terasa, tapi Tempe tidak mau didatangi musuh besarnya: Masuk Angin! *Tutup resleting jaket
“Kalau dulu, dari pos timbang menuju puncak bisa memakan waktu 6 jam..” lanjut sang pemandu bercerita sedikit sambil menatap wajah-wajah yang sudah kelelahan.
“Gila lama amat 6 jam?”
“Iya, karena mereka harus sambil buka jalan..”
Cerita yang sebetulnya menarik, sayangnya Tempe lebih fokus mengatur nafasnya yang sudah ngap-ngapan, walau sesekali cukup lega juga melihat sekelilingnya, betapa mahalnya usaha kita untuk bisa menemukan keindahan. Ia teringat akan salah satu kutipan:
Beautiful things don’t ask for attention – SOC
Ya, alam sudah mulai menggoda Tempe. Hamparan lampu-lampu kota yang menerangi dari jauh, terlihat begitu indah dengan latar belakang gelapnya malam. Inilah senjata rahasianya, bisik Tempe dalam hati, motivasi yang diberikan langsung oleh alam.
Tetapi tentu saja lama kelamaan motivasi mulai terkikis, kaki sudah bergerak hanya dengan kekuatan tekad saja. Kapan nyampenya ini?
“Itu puncaknya sudah kelihatan kok!” begitu usaha sang pemandu untuk memberi semangat.
“Okee…” sahut Tempe kecil, selangkah demi selangkah…
Jarang sekali Tempe pergi dalam rombongan sebesar ini, oleh karena itu ada pengalaman yang cukup berbeda juga. Berasa sok jagoan, sesekali Tempe juga memastikan bahwa teman-teman serombongannya masih bersemangat, padahal dirinya sendiri kelelahan.
Mungkin karena langkah mereka semakin lama semakin berat, sang guide mencoba kembali menyemangati:
“Puncaknya di balik bukit itu, tuh udah keliatan!”
Deja vu.
Tempe kali ini sudah tidak memberi sahutan, ia ingin mengusulkan untuk istirahat lagi namun sayangnya waktu tidak solider menunggu mereka. Sambil menatap lemas detik jam yang justru berjalan lebih cepat dari mereka, Tempe mengencangkan ransel kameranya yang tidak membantu banyak dan meneruskan langkahnya.
Sampai akhirnya rombongan mereka melewati bukit yang disebutkan, sejenak Tempe merasakan euforia karena ini berarti puncak sudah dekat. Namun apa sanggup Tempe, ketika ia mengangkat kepalanya dan menatap ke depan, tangannya bergetar. Bukan lagi karena kedinginan, tetapi karena matanya tidak percaya melihat jalur panjang mengular yang dipenuhi oleh cahaya senter bergerak perlahan. Mana puncaknya!?
Dan pada titik terendah para rombongan, sekali lagi upaya guide terdengar:
“Itu tuh puncaknya sudah terlihat, sedikit lagi sampai!”
Tempe memilih untuk memfokuskan energinya pada kaki-kaki yang sudah melemah daripada membalas pemberian semangat tersebut. Namun uniknya, salah satu anggota rombongan memberikan tanggapan:
“Langit pun kelihatan! Tapi kita ga akan pernah bisa sampai ke langit!”
Sebuah celetukan sederhana yang dibalas dengan gelak tawa diantara nafas mereka yang sudah kritis.
Apa yang terlihat, dan apa yang bisa kita capai, adalah 2 hal yang berbeda
Kita sering mencampuradukan antara apa yang terlihat dan apa yang bisa kita capai:
apa yang bisa dilakukan orang lain, pasti kita bisa lakukan.
apa yang ada di depan mata kita, pasti bisa kita raih.
Padahal mata adalah indra yang paling banyak menerima sinyal tipu daya, walaupun mulut kita adalah yang paling banyak mengeluarkannya. Coba lihat betapa mata kita mampu memberikan penilaian terhadap orang yang baru kita temui, bahkan tanpa satu interaksipun antara kita dengan dia?
Kutipan yang terkenalpun bertuliskan,
if you can
seedream it, you can do it
Pada saat bermimpi, mata kita terpejam. Kita melihat dengan apapun selain mata kita.
Berhati-hatilah akan apa yang dipersepsi oleh mata kita. Tidak semua yang terlihat, berarti bisa kita dapatkan. Begitupun semua yang bisa kita capai, terkadang justru tidak terlihat oleh mata kita.