Once I started trying to give positive reviews, though, I began to understand how much happiness I took from the joyous ones in my life-and how much effort it must take for them to be consistently good-tempered and positive. It is easy to be heavy, hard to be light.

–  The Happiness Project by Gretchen Rubin

Awalnya setelah membaca kalimat tersebut, saya tetap melanjutkan ke paragraf berikutnya, biasa saja. Namun ada ketertarikan yang tidak wajar setelah melaluinya beberapa saat dan akhirnya menyerah juga, saya membaca ulang bagian itu.

Saya sangat setuju dengan paragraf tersebut dan betapa relevan dalam kehidupan kita. Saya jelas merasakan kebenarannya selama ini, tapi tak pernah tahu bagaimana mengatakannya atau bahkan tidak pernah menyadarinya. Itulah yang membuat saya tertarik.

Tepat kemarin ketika sedang berdiskusi santai dengan teman kantor, ada sebuah pertanyaan yang dilontarkan secara acak: sifat seperti apa sih yang paling kalian tidak sukai?

Ada teman yang menjawab bahwa sifat yang sangat ia tidak sukai adalah mereka yang invasif, teman lain menuturkan bahwa orang yang membawa urusan pribadi ke ranah profesionalisme adalah yang paling menyebalkan, ada juga yang mengatakan mereka yang banyak tanya sebagai sifat yang dibenci.

Saya sendiri menjawab bahwa orang yang selalu membawa aura negatif sebagai sifat yang paling sulit dihadapi.

Memang saya akui bahwa sifat negatif itu adiktif. Perihal ini juga dibahas pada subtopik buku yang sama, bahwa sifat negatif membuat kita terlihat lebih pintar atau eksklusif. Bayangkan sebuah situasi ketika semua orang sedang membicarakan mengenai star wars, saat sejumlah besar setuju bahwa film nomor tujuhnya menarik dengan pendapatnya masing-masing, betapa menyenangkannya kalau kita bisa menjadi satu-satunya orang yang menyatakan tidak setuju dan mengutarakan berbagai pendapat negatif kita? Kelihatan seperti orang yang punya selera film yang lebih tinggi daripada yang lain, bukan?

Itulah betapa berbahayanya kenegatifan. Ketika semua orang menyukai suatu makanan tetapi kita menjadi satu-satunya yang mengatakan bahwa makanan tersebut tidak enak; atau ketika teman-teman kita tertawa setelah mendengarkan suatu lelucon tetapi kita menjadi satu-satunya yang tidak tertawa dan justru mengatakan “Ga lucu…”, membuat kita seolah menjadi orang yang punya selera humor yang sulit terpuaskan.

Sayangnya, sifat negatif hanya mampu memberikan pengakuan sesaat saja. Seringkali begitu ada komentar negatif yang terlontar, diskusi menjadi tidak konstruktif. Komentar negatif berbeda dengan kritik yang membangun. Diskusi akan berubah menjadi debat, ketika pihak yang berkomentar negatif akan berusaha bersifat defensif, mencoba semakin membesarkan dirinya di hadapan orang lain dengan berbagai penolakannya.

Yap, menjadi orang yang mampu bersikap positif secara konsisten jelas sangat berat. Ketakutan akan dicap menjadi orang yang mudah dipengaruhi, punya selera yang rendah, atau gampangan adalah tantangan eksternal yang terus diangkat oleh ego kita. Jadi apa untungnya bersikap positif?

Penghargaan akan kebahagiaan orang lain, dan kebahagiaan kita sendiri.

Dengan berkomentar negatif, kita seolah mempertandingkan kebahagiaan kita dengan kebahagiaan orang lain. Salah satu pasti kalah, lebih tepatnya harus ada yang kalah. Sementara sikap positif tidak meletakkan ego kita sebagai taruhan. Sesimpel kita membangun kebahagiaan tersebut bersama-sama. Win-win solution.

Lalu, kita harus berhenti mengkritik gitu?

Nope, beda. Kita tetap bisa kok mengkritik dan bersikap positif bersamaan. Poinnya adalah memilih untuk mendengarkan, memikirkan, baru merespon. Merespon, bukan sekedar menjawab.

Kalau anda tidak menyukai suatu film sementara orang lain mengatakan bagus, dengarkan terlebih dahulu alasannya baru pikirkan pendapat anda, daripada langsung menyiapkan 100 alasan lain bahwa film tersebut jelek. Begitu juga dengan makanan. Anda merasa suatu lelucon tidak lucu sementara orang lain tertawa? Tidak perlu mengurangi kebahagiaan mereka yang menganggap itu lucu dengan melontarkan komentar negatif, mungkin ada yang terlewat atau tidak anda mengerti?

Sekarang pertanyaannya, apakah kita cukup kuat menghadapi gertakan ego kita? Kita manusia, tentu saja butuh pengakuan, dan pengakuanlah yang dapat diberikan oleh negativisme. Tetapi diatas itu semua, kita juga pasti ingin bahagia. Sayangnya, kebahagiaan yang diberikan dari pengakuan adalah semu, hanya untuk diri kita sendiri, dan bersifat sementara.

Ini tawaran saya: bagaimana jika mencoba memulai bersikap positif, walau berat, dengan tujuan saling menghargai kebahagiaan satu sama lain, toh ujung-ujungnya kita justru akan mendapatkan kebahagiaan yang absolut.

 

Gimana?