(tulisan ini adalah sekeping bagian dari perjalanan 1 minggu keliling Jawa berjudul Keliling By Request)
…
Akhirnya sampai juga di kota yang satu ini. Demi mengejar jadwal tiket yang sudah dipesan sebelumnya, kesempatan mereka untuk bermesraan dengan Kota Semarang tidak lebih dari 12 jam. Ekspektasi pun tak tinggi, hanya Semawis yang jadi tujuan utama, berusaha memenuhi rasa keingin tahuan Mihe yang begitu mendalam.
Tapi sekali lagi, mereka dikejutkan. Bahkan, dalam 12 jam yang terasa begitu lama dan menyenangkan, mereka menemukan klimaks dari perjalanan ini.
Yap, untuk kota yang satu ini, cerita akan lebih panjang dari biasanya karena hanya akan dibungkus dalam sebuah post saja. Keputusan ini semata-mata untuk menunjukan betapa semua kejadian itu terjadi beruntun, tanpa jeda panjang satu sama lain, mencoba memanfaatkan sebaik-baiknya 12 jam yang dimiliki. Mulai dari Terminal Terboyo sampai Stasiun Tawang,
perjalanan di Kota yang terkenal dengan lumpia-nya ini pun bergulir…
Terminal Terboyo

Masuk bus secara acak, yang penting kondekturnya bilang tujuannya adalah Kota Semarang, mengakibatkan mereka bertiga kelabakan ketika bus sudah mau sampai Semarang. Informasi yang didapatkan dari kondektur hanya 1: bus ini memiliki tujuan akhir Terminal Terboyo. Ah, pokoknya jalani dulu saja, yang penting kan ke daerah Semarang..
Untuk Kota Semarang sendiri, Tempe menyimpan rahasia daripada kedua rekan perjalanannya. Kebetulan kakak-nya sedang berdomisili di Semarang, sehingga dalam sekilas mata tampaknya semua urusan berkeliling di Semarang akan mudah. Mihe dan Koya awalnya tidak mengetahui hal ini, oleh karena itu, pada saat perencanaan pun sebetulnya Kota Semarang tidak sedetail Kota lain. Tidak membicarakan mengenai angkutan umum, tidur dimana, mau ngapain aja, dsb. Koya dan Mihe yang terus menerus membahas mengenai detail di Semarang, sementara Tempe selalu santai menjawab ‘ah, nanti saja lah.. gampang..’.
‘Nanti tolong dijemput di Terminal Terboyo ya,’ tulis Tempe menyampaikan pesan untuk kakaknya.
‘Oke,’ dijawab santai. Wah lega…
Sampai tiba-tiba datang lagi pesan singkat beruntun mengikuti sanggupan singkat tadi,
‘Waduh ternyata setelah ditanya sama orang, Terminal Terboyo itu jauh dari Kota Semarang, itu mah nyasar namanya!’
‘Terminal Terboyo tuh udah mengarah ke Kudus!’
baru mau dibalas sudah ada lagi lanjutannya,
‘Mendingan minta turun di tengah jalan aja!’
Duh, belum sempat dibalas, pikir Tempe panik. Harus turun dimana nih?
‘Harusnya kalau ke Terminal Terboyo pasti lewat RS. Karyadi, turun situ aja!’
Revisi lagi balasannya, baru mau nulis udah datang lagi pesan baru…
‘Apalagi Terminal Terboyo katanya banyak copetnya!’
Ada-ada aja sih lagi bingung gini malah ngasih info copet lagi!
Waduuuuh, pusing deh ini awak, keluh Tempe mulai kebingungan, berhubung dia masih mau sok-sokan ngasih kejutan buat kedua rekannya, dia masih belum bisa mendiskusikan permasalahan yang sedang menghadang ini. Ah, lagipula paling cuma bisa diskusi ama Mihe doank, benak Tempe ketika menengok ke arah Koya yang, lagi-lagi, sudah tertidur pulas.
Keramaian di dalam bus membuat begitu sulit untuk bertanya kepada kondektur yang mondar-mandir. Jadilah setelah sekitar 3 jam perjalanan, plang yang bertuliskan “KOTA” terlihat. Ini maksudnya Kota Semarang ya? Atau ada kota yang namanya Kota?
Penuh dengan keraguan, alhasil kelewatanlah Kota Semarang. Ternyata bus royal rajawali ini tidak melewati pusat kota, yap, “KOTA” yang ada di plang itu memang maksudnya pusat Kota Semarang. Perjalanan panjang dalam jalan tol harus dilewati Tempe sambil menatap GPS yang dipinjam dari Mihe. Setiap meter menjauh dari Kota, semakin pun menumpuk gundah dalam hatinya.
Pokoknya begitu keluar tol mendingan kita turun, kata Tempe kepada Mihe, disambut anggukan tidak yakin.
Dan ternyata, keluar tol-nya jauh banget! Mobil yang terlihat berlalu lalang pun sebagian besar hanya truk, sulit sekali mencari angkutan umum. Jadilah begitu turun, mereka mengincar taksi apapun, tapi tak kunjung datang. Keadaan diperparah ternyata Koya punya magh, dan dia mulai merasa sakit (ingat kah tentang onderdil Koya yang harus diservis setiap 5 hari?). Beruntung ada seorang bapak yang berbaik hati membantu mencarikan taksi, dan hebatnya, dia bisa melihat taksi yang datang dari jarak yang sangat jauh! Terima kasih bapak pencari taksi!
Setelah menghabiskan banyak waktu berharga hanya untuk mencari taksi, akhirnya mereka kembali ke jalur yang benar..
Harga tiket Royal Rajawali Rp. 20.000,- / orang sampai Terminal Terboyo, Semarang
Harga taksi ke RS Karyadi: Rp. 30.000
Sam Poo Kong

Setelah bersusah payah dipenuhi perasaan panik selama di bus, sisa perjalanan di Semarang dalam hal transportasi bisa dibilang sangat nyaman. Orang tinggal duduk tenang di mobil pribadi dan ga mungkin nyasar lagi kok, hehehe.
Tujuan pertama dari RS Karyadi adalah Sam Poo Kong, semacam chinese temple tertua yang terkenal di Kota Semarang. Tertulis kalau Sam Poo Kong ini adalah nama lain dari Cheng Hoo, nama pelaut yang juga disematkan pada sebuah masjid di Surabaya. Bedanya, ternyata gedung yang satu ini betul-betul dibuat oleh Cheng Hoo sendiri loh! Oh ya, Lokasinya pun tidak jauh dari simpang lima Semarang, jadi sangat mudah untuk dijangkau.
Sayangnya, hari itu sudah gelap sekali! Apalagi penerangan di dalam vihara sendiri sangat sedikit. Berhubung kamera yang dibawa tidak bisa diandalkan di kala gelap, jadi mereka hanya bisa menangkap banyak gambar untuk konsumsi mata saja, sulit untuk diabadikan dengan baik. Isinya ada beberapa bangunan megah dengan dominasi warna merah dan berbagai jenis patung-patung orang dalam ukuran besar. Biasanya orang suka mengambil gambar bersama sebuah pintu gerbang yang sangat besar, tapi tidak ada lampu-nya kalau di malam hari, hiks..
Harga tiket masuk Sam Poo Kong Rp. 4.000,- / orang
Tips: datanglah di siang hari!
Pecinan Semarang a.k.a Semawis

Setelah berkeliling di Sam Poo Kong selama lebih kurang setengah jam, perjalanan dilanjutkan ke tujuan utama: Semawis! Walau sempat agak kebingungan lokasinya, karena memang letak pecinan yang satu ini cukup masuk ke dalam daerah pasar gitu, tapi akhirnya sampai juga. Seperti yang sudah diduga, saat itu kondisi Semawis begitu ramai, tapi memang begitulah seharusnya… ini baru terasa pecinan-nya!
Tempat makan yang dipilih adalah rekomendasi dari kakak Tempe, yaitu Mie Singapore. Ditambah hidangan pencuci mulut berupa jeli-jeli kenyal gitu yang berbentuk seperti mie, namanya Mie Cool. Pengakuan dari Mihe, rasanya masih lebih enak yang di Surabaya. Tapi memang sayangnya di Surabaya suasananya tidak sebonafit di Semarang, jadi tetap layak banget untuk dikunjungi!
Salah satu stand menarik yang sangat unik di Semawis juga adalah tempat karaoke untuk umum. Orang bebas memilih lagu dan karaoke di tengah jalan, dengan speaker super keras, ditonton pula oleh semua orang yang sedang lalu lalang! Mungkin kalau Koya sedang dalam keadaan mabuk seperti saat di Surabaya, dia akan dengan sigap menyanyi lantang-lantang disana. Tapi untungnya saat itu ia sedang tidak mabuk, ditambah lagi lagu yang banyak dinyanyikan adalah lagu mandarin, jadi justru yang ingin sekali menyanyi adalah Mihe, yaitu satu-satunya yang fasih berbahasa mandarin diantara mereka bertiga. Sayangnya ia dihalangi oleh kedua temannya, karena kasihan nanti kalau saking bagus suara Mihe sampai-sampai orang-orang yang menonton tidak memperbolehkan dia untuk berhenti menyanyi, hehehe… dui bu qi Mihe..
Lawang Sewu
Masa ke Semarang tapi engga ke Lawang Sewu sih?
Begitu pikir Tempe yang sok berani kemudian menyarankan untuk mampir ke Lawang Sewu. Walau Koya dan Mihe tidak terlalu bersemangat, tetapi justru Tempe yang mengajak mereka untuk pergi ke wisata horror ini. Padahal, Tempe adalah yang paling anti urusan mistis-mistis gini. Waktu di Batu aja, Koya dan Mihe sampai tidak jadi masuk rumah hantu karena Tempe menolak. Tapi ini Semarang, aneh banget ga sih kalau ga disempetin ke lawang sewu?
Lawang Sewu terletak tepat di simpang lima semarang, di depan tugu muda yang lebih cocok disebut sebagai tugu rokok di malam hari, karena nyala lampu nya yang remang-remang di pucuk tugu layaknya rokok yang sedang terbakar. Tugu Muda yang lebih layak disebut sebagai tugu rokok, oh the ironi…

Berusaha mengumpulkan keberanian besar, Tempe akhirnya sanggup juga menatap Lawang Sewu dari dekat. Setelah kesekian kalinya ke Semarang, baru kali ini ia mampu berhadap-hadapan dengan gedung seribu pintu ini. Menurut info, guide disini lebih kurang mematok tarif di kisaran Rp. 20.000,- atau paling mahal pun Rp. 50.000,- tergantung semalam apa pengunjung datang. Makin malam makin mahal…
Tetapi kenapa justru banyak orang bergerumul di gerbang dan tidak masuk ke dalam? Ya ampun, ternyata sekarang lawang sewu ada jam bukanya! Bercampur aduk antara perasaan senang dan kecewa berat, Tempe membaca bahwa Lawang Sewu hanya dibuka pada pukul 07.00 – 21.00, sementara saat itu sudah sekitar jam 10 malam. Sementara Mihe dan Koya begitu kecewa, senyum lebar muncul di muka Tempe,
‘wah sayang sekali ya sudah tutup! Padahal pengen banget masuk!’ kata Tempe sok-sokan, disambut tatapan sinis dari kedua temannya yang sudah tau bahwa sebetulnya Tempe justru senang. Next time Lawang Sewu, next time!
Oh ya, ada kejadian menarik sewaktu mereka bertiga sedang asik berfoto di depan lawang sewu. Kebetulan Mihe mendapatkan sebuah telpon, dan ia memutuskan untuk membicarakan topik yang paling buruk yang dapat dipilih seseorang di depan lawang sewu….
Tolonglah, hentikan pembicaraan itu Mihe… Bahkan hantu-hantu di lawang sewu pun ketakutan…
Kota Lama
Setelah puas mengajak hantu-hantu lawang sewu untuk koding bersama, Mihe akhirnya bersedia untuk beranjak dari simpang lima. Beristirahat sejenak, barang 3 jam, sambil membersihkan diri di tempat tinggal kakak Tempe, mereka bertiga memutuskan untuk segera melanjutkan perjalanan. Walaupun jam masih menunjukkan pukul 03.00 pagi, mereka mencoba beralih profesi menjadi pengejar matahari dan meluncur ke Pantai Marina.
Berhubung selagi di Solo mereka batal ke Tawangmangu (sial!), dan di Surabaya mereka batal ke Pantai Kenjeran, ini akan menjadi satu-satunya wisata alam. Namun, mereka pun tidak memasang harapan besar, karena pantai di semarang ini sama sekali tidak terkenal karena wisata-nya. Jarang sekali terdengar, justru terkenal karena pelabuhannya. Tapi kayaknya kalau dihiasi sama matahari yang baru bangun, asik juga…
Namanya pantai ya pasti buka 24 jam kan?
Salah besar!
Sudah jauh-jauh berjalan ke Pantai Marina, ternyata oh ternyata, pantainya baru buka jam setengah 5 pagi! Dan sekarang baru sekitar jam setengah 4! Masa nunggu 1 jam?

Mendingan kita ke tempat lain dulu?
Mihe dan Koya menyanggupi saran Tempe dan akhirnya mobil mereka arahkan ke Kota Lama, sebuah daerah di Semarang yang terkenal karena suasananya yang terasa tua, dengan bangunan dan bahkan stasiun tawang-nya.
Salah satu bangunan yang paling terkenal disini adalah Gereja Blendug, gereja tua yang masih aktif sampai dengan saat ini. Jika dikunjungi pada siang hari, pengunjung dipersilakan masuk dengan tarif tertentu untuk sekedar melihat-lihat. Tapi berhubung ini jam 4 pagi, jadilah mereka bertiga lagi-lagi cuma bisa menikmati interior luar saja. Sambil duduk di taman dekat gereja tersebut, mencoba menghabiskan waktu sejenak menikmati suasana oldies di sana. Satu perasaan yang muncul: ngantuk bro…
Marina Bay
And here we are…
Setelah menghabiskan setengah jam asik bercanda tawa sambil sesekali curi-curi memejamkan mata, mereka bertiga beranjak juga untuk kembali ke Pantai Marina. Dari kejauhan, pantai yang satu ini sepertinya biasa saja. Apalagi saat itu kondisi masih begitu gelap. Mereka sampai di pantai marina sekitar jam 5 pagi, dan untungnya matahari belum mendahului mereka.

Pantai ini ternyata cukup berbeda dengan pantai lainnya. Pasir tidak terlihat di tepi pantai, namun batu-batu besar berdiri kokoh sepanjang garis laut. Angin yang begitu sejuk menyapa mereka, bersamaan dengan pemandangan tanjung mas di sisi lain. Lampu-lampu pelabuhan yang masih malu-malu untuk bercahaya, dan gradasi yang oranye terlihat begitu megah, begitu sempurna. Mereka bertiga selama ini sama sekali tidak menganggap spesial pemandangan sunrise ataupun sunset, tetapi Pantai Marina baru saja menanamkan benih-benih obsesi di dalam hati mereka masing-masing.
Bersantai di tepi pantai, sambil menikmati semilir angin pantai, memanjakan mata yang masih sayu karena kantuk belum kunjung reda, sama sekali tidak bisa berharap untuk sebuah pagi yang lebih indah. Apresiasi terbaik yang dapat diberikan saat memandang keagunganNya seperti ini adalah duduk diam, tersenyum, dan bersyukur. Apalagi saat itu pantai dalam kondisi sangat sepi, seolah jadi milik mereka bertiga.
Dan ketika itulah, cahaya oranye mulai terlihat merangkak di seberang sana,
mewarnai goresan awan di langit Semarang pagi itu,
tak sekejap mata pun berani mereka lewatkan,
tak sekalipun kedip mereka sanggup ‘tuk lakukan,
tak seorang pun dari antara mereka perlu menekankan:
bahwa perjalanan ini telah mencapai klimaksnya, kawan!

Kala itu tak hentinya mereka bersyukur atas kesempatan yang telah diberikan, atas setiap pelajaran, pengalaman, yang mereka dapatkan selama perjalanan. Tak lupa, dibekali kenangan indah yang tak lagi dapat dinilai dalam uang dan diungkapkan dalam kata, mereka berjanji untuk meneruskan perjalanan ini, bertemu dengan matahari yang sama, di tempat dan suasana yang berbeda.
Pantai Marina, yang awalnya hanya sekedar tempat untuk mengisi waktu kosong sambil menunggu kereta menuju Cirebon, baru saja dengan sendirinya langsung menyematkan predikat sukses pecah kepada Kota Semarang.
Kota ini boleh jadi yang paling singkat disinggahi, tapi memori yang didapatkan adalah yang paling lama akan bertahan.
Stasiun Tawang

Walau tak akan pernah puas mata ini memandang keindahan Pantai Marina, akhirnya tiket juga yang memaksa mereka untuk segera beranjak pergi. Melanjutkan perjalanan ke kota terakhir, Cirebon. Setelah 2 kali layah-luyuh kebingungan naik bus, perjalanan Semarang-Cirebon akan ditempuh menggunakan kereta. Kereta berangkat dari Stasiun Tawang, daerah Kota Lama Semarang, dekat sekali dengan Gereja Blendug.
Oh ya, Stasiun yang satu ini bagus sekali loh, tertata rapi, walaupun dari bentuk bangunannya sudah terkesan tua dan punya toilet dengan langit-langit yang sangat rendah. Karena terlalu lelah, di Semarang tidur pun hanya bisa sebentar, mereka bertiga memutuskan untuk banyak beristirahat dan memejamkan mata di Stasiun sambil menunggu kedatangan Fajar Utama Semarang yang dijadwalkan pada pukul 08.00. Untuk kereta yang satu ini, biaya yang perlu dikeluarkan adalah Rp. 70.000,- / orang. Termasuk murah dibandingkan dengan kereta lain.
Sayang sekali, ternyata Koya makin merasa tidak enak badan selama di stasiun, membuat Mihe dan Tempe cukup kelabakan. Biasanya dia bisa makan segentong, sekarang diminta makan secuil pun sulit. Tampaknya ia tak sanggup menahan betapa indahnya pemandangan yang baru saja ia saksikan?
Cepat sembuh Koya, Cirebon menanti kita!
…