(tulisan ini adalah sekeping bagian dari perjalanan 1 minggu keliling Jawa berjudul Keliling By Request)
Besok kita bangun jam 7 pagi ya, tukas mereka sebelum tidur. Supaya bisa santai jalan-jalannya.
Kemudian masing-masing memejamkan mata, berharap pagi datang perlahan.
…
Kring kring, kring kring. Sekitar jam 6 pagi, alarm Mihe berbunyi. Tak ada yang peduli, yuk tidur lagi.
Kring kring, kring kring. 06.10, berbunyi lagi, untuk yang terakhir kali.
…
Bro, bangun bro, sahut Tempe. Mihe yang alarmnya daritadi paling keras malah bangun paling terakhir, sementara Koya keburu menuturkan pertanyaan paling penting pagi ini: udah jam berapa nih?
Sambil tersenyum menyindir, jam di HP Tempe sudah menunjukkan angka 09.00. Bangun jam 7 pagi, Mbahmu?
Kepanikan di pagi itu malah bertambah lucu ketika Mihe bangun dan menyatakan bahwa ia salah pencet tombol snooze, malah kepencet dismiss. Maafin ga ya..
Mulai kelihatan kalau urusan jam bangun, 3 orang ini sama-sama kebo semua. Walaupun telat jadwal dan sok-sok merasa menyesal, tapi tetap saja mereka melanjutkan kegiatan dengan santai-santai. Mandi selow, sarapan selow (disediain sama hotel loh), dan check out super selow. Keluar-keluar hotel udah jam 11 aja.. Yuk ah buruan dikit..
Pasar Beringharjo
Tujuan pertama setelah cekot adalah museum kolong. Museum ini memang tidak begitu terkenal dari berbagai referensi yang sudah dibaca mengenai wisata di Jogja. Sponsor utama objek yang satu ini adalah Koya, yang begitu bersemangat untuk sejenak menyaksikannya sendiri, setelah ia melihat foto-foto yang diambil di museum ini. Berhubung memang dokumentasi yang dipamerin si Koya sepertinya lucu-lucu, ya udah Mihe dan Tempe mengiyakan ajakannya.
Perjalanan dari hotel ke museum kolong dipimpin oleh Mihe, dan menariknya, jalan yang dipilih adalah melalui jl. Beringharjo, sebuah gang yang terkenal dengan pasarnya di daerah Malioboro. Pasar Beringharjo sendiri bukan salah satu tujuan perjalanan ini, karena memang pada dasarnya mereka bertiga tidak hobi berbelanja. Kalau hobi belanja, mungkin seumur di Jogja akan dihabiskan di Malioboro saja.
Tetapi menarik juga menyaksikan apa yang terjadi di Pasar Beringharjo ini. Tidak terlalu berbeda dengan pasar yang lain, pasar tradisional ini ramai dan padat sekali. Jalan kecil yang hanya cukup untuk dilewati tepat 2 mobil, namun dikerumuni oleh pedagang kaki lima di sisi-sisi jalan. Kurang tertata? Tapi memang ada seninya juga sih disitu. Seperti.. Indonesia banget.
Pasar Beringharjo sendiri terkenal terutama karena keanekaragaman rempah-rempah yang ada di bagian belakang pasar. Memang kentara sekali sih. Rempah-rempah itu penting banget, kan. Alasan Indonesia digemari oleh bangsa-bangsa barat jaman dulu dan sering sekali diungkit pada pelajaran sejarah: rempah-rempah.
Museum Kolong
Ini tempat sepi sekali, pikir Tempe. Ga ada tanda-tanda objek wisata di sini.
Akhirnya mereka sampai di lokasi yang seharusnya merupakan museum kolong. Alih-alih melihat pintu masuk ke museum, yang ada di pandangan malah beberapa orang yang sedang memperbaiki bangunan besar di dekat situ. Daripada larut dalam kebingungan, Tempe menghampiri seorang Bapak yang terlihat seperti mandor dan menanyakan letak museum kolong.
Di atas, naik saja tangga ini, jawab Bapak tersebut.

Loh, kirain namanya museum kolong berarti ada di bawah tanah atau gimana gitu…
Setelah naik tangga, suasananya semakin sepi, mana banyak bahan bangunan berserakan gitu lagi. Untung di luar cerah, kalau gelap udah serasa uji nyali nih. Di ujung anak tangga, mulai terlihat suasana berwarna-warni, seperti pelangi yang muncul setelah hujan. Rasa penasaran pun kembali memuncak.
Ternyata benar, museum kolong ini tepat berada di lantai 2 bangunan besar yang tadi dibahas. Dominasi warna hijau, diisi oleh berbagai gambar-gambar menarik. Semua memori masa kecil akan sepintas melewati kepala mereka yang melihat, meninggalkan rasa kangen sekaligus haru. Ayo buruan beli tiketnya! Tapi.. mana loketnya?
Cek ricek, nama asli museum warna-warni ini adalah museum anak kolong tangga, mungkin kalau dijelaskan maksudnya adalah museum anak di kolong tangga, karena lokasi museumnya sendiri memang terdapat di bawah sebuah tangga yang besar.

Di luar dugaan, museumnya asik banget. Mewah sih engga, tapi dengan kesederhanaannya, sisi nostalgia yang diinginkan itu bisa sungguh-sungguh kembali merayap, menggelitik dalam hati. Ya betul, sebetulnya tujuan museum ini bukan sepenuhnya adalah museum untuk anak, tetapi justru untuk siapapun, asal anda besar di Indonesia, pasti akan familiar dengan berbagai mainan yang ada di museum ini. Selain itu, bisa dilihat juga usaha untuk menjaga kebudayaan Indonesia terutama mainan-mainan asli dalam negri. Tempe dan Mihe berhutang terimakasih nih sama Koya udah dibawa ke tempat ini, soalnya tempatnya ngangenin dan unyu-unyu banget!
Lebih keren lagi, isi dari museum ini kebanyakan adalah hasil karya tangan anak Indonesia itu sendiri. Seperti gambar-gambar goresan anak kecil, boneka-boneka, dan seni prakarya yang biasa dibuat sewaktu kita kecil. Salah satu yang menarik adalah terdapat rapor SD peninggalan dari jaman sekolah waktu Indonesia masih dijajah Belanda dulu. Tapi hebat juga nih yang berani memamerkan rapornya, soalnya nilainya jelek… hehehe…
Harga tiket masuk museum kolong: Rp. 4.000,- / dewasa. Buat anak berumur 6 tahun kebawah: gratis!

Di pintu keluar, mereka disambut oleh sebuah kursi panjang, meja, dan papan tulis yang dipagari. Wah, jadi inget waktu duduk di bangku SD dulu. Di papan tulisnya sendiri terdapat sebuah kalimat inspiratif, meninggalkan pertanyaan bagi setiap pengunjung museum kolong anak tangga. Oh ya, di museum ini, kita bisa membeli buku juga, tapi mereka ga memeriksa buku macam apa sih yang dijual. Selain buku, ada juga toko suvenir yang menjual mainan-mainan yang dulu suka dijual berkeliling komplek. Misalnya mainan gundu, kapal kecil yang jalan pakai minyak (maaf ga tau namanya), dan mainan parasut yang pakai plastik, kangen banget!
Setelah selesai mengenang masa kecil yang begitu bahagia, mereka bertiga memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Tidak lupa berterimakasih dan tersenyum dulu kepada mba yang sedang menjaga museum, hebat banget ngejagain museum ini sendirian, kaki mereka membimbing perjalanan keluar dari museum anak kolong tangga sambil dipenuhi pertanyaan:
kok tempat sekeren ini bisa sepi ya? Semoga sepi cuma karena sedang hari kerja saja. Semoga..

Jualan Batu
Sebelum pergi ke destinasi berikutnya, berhubung perjalanan kesana agak jauh, ada baiknya mengisi perut dulu nih. Sambil berjalan menuju halte trans jogja taman pintar, mereka singgah sejenak di sebuah tempat makan kecil di depan sekolah dekat taman pintar. Menu makanan yang akhirnya dipilih adalah nasi rames seharga Rp. 12.000,-. Ada kejadian menarik saat mereka sedang menyantap makanan. Selagi mulut sibuk menikmati nasi rames, telinga bisa bebas terhibur oleh pembicaraan 2 orang bapak-bapak yang juga sedang ngaso-ngaso siang. Sayangnya, cuma Tempe yang mengerti sepenuhnya tentang pembicaraan tersebut, sementara Koya masih bisa mengerti sedikit, dan Mihe.. ah dia terlanjur asik dengan makanannya. Ya, mereka bicara dalam bahasa jawa.
Obrolan yang terdengar itu adalah mengenai jualan batu. Hah, batu kok dijual? Batu yang dimaksud disini adalah batu-batu yang unik, kadang-kadang memiliki semacam gambar di permukaannya, batu yang biasa dikumpulin sama kolektor. Tampaknya, salah satu dari bapak tersebut adalah penjual batu, sementara temannya sedang menanyakan mengenai alasan menyukai batu.
Lebih kurang, inti pembicaraannya setelah diterjemahkan adalah sebagai berikut,
jualan batu itu cuma hobi saja, seperti mengisi waktu luang. Banyak orang yang percaya batu itu punya kemampuan khusus lah, bawa keberuntungan lah, kalau saya sih engga, cuma untuk indah-indahan saja. Gambarnya juga sebetulnya cuma bisa-bisaannya si penjual saja. Misalnya dia bilang bentuknya muka orang, dia cari-cari tu 2 mata, hidung, mulut, padahal sebenernya goresan-goresan acak aja. Hal seperti ini mah buat hobi aja, tidak usah berlebihan. Pernah ada calon pembeli yang ingin membayar mahal sekali untuk salah satu batu yang tidak saya jual, sampai memohon-mohon. Tidak usah lah sampai seperti itu.
Ga nyambung ya sama perjalanan ini? engga apa-apa, ini membuktikan bahwa pelajaran tu ga cuma didapatkan saat berkunjung ke objek wisata, tapi setiap saat. Bahkan saat makan di tempat yang sama sekali tidak direncanakan, ada juga loh yang bisa di dapatin. Lalu apa yang bisa didapatin dari pembicaraan bapak-bapak tadi? Diserahkan pada masing-masing pembaca, deh…
Ratu Boko
Perjalanan ke candi prambanan ditempuh menggunakan trans jogja jalur 1A, halte yang dituju adalah paling ujung. Lebih kurang butuh waktu 30 menit untuk sampai ke tujuan. Buat Koya, ngga ada yang namanya duduk dengan mata terbuka lebih dari 10 menit, walau awalnya bilang ga tidur deh, tapi pada akhirnya menyerah juga, meninggalkan Tempe dan Mihe, lagi…
Setelah sampai di pemberhentian terakhir, walau namanya udah halte prambanan, tapi tetep aja harus jalan lebih kurang 1km ke pintu masuk candi prambanan. Oh ya, kompleks candi prambanan ini puanasee ra’ jamaak… Makanya ada banyak juga ibu-ibu yang menawarkan jasa sewa payung. Kalau gak salah Rp. 15.000,- deh harganya.
Nah, kalau pergi ke candi prambanan, pasti akan ditawarin yang namanya tiket paket. Jadi, selain ke candi prambanan, ada satu candi juga yang sepertinya kalah pamor dari prambanan, yaitu candi ratu boko. Lokasinya agak jauh dari prambanan, naik lagi gitu, tapi kalau pakai tiket paket yang udah diceritain bakal disediain shuttle bolak-balik prambanan-ratu boko.
Harga tiket masuk
prambanan doank: Rp. 40.000,-
ratu boko doank: Rp. 10.000,-
paket: Rp. 45.000,-
tips: bawa topi + jangan pakai baju yang warna gelap kalau mau datang di siang hari!
Ya udah, yang paket aja Mas! 3 tiket ya!
Pas mereka bertiga sedang bersiap untuk masuk ke komplek candi prambanan, tiba-tiba ada seorang penjaga pintu masuk yang berkata
Titipin aja tuh tasnya!
Wah asik, ada penitipan barangnya! Pikir Tempe. Mungkin si penjaga itu menyadari muka-muka memelas 3 orang yang udah jalan kaki jauh bawa ransel berat. Bagaimanapun, terimakasih bapak penjaga!
Jadilah mereka pergi ke penitipan barang terlebih dahulu. Tapi ternyata, tempatnya kecil banget! Ini sih udah pasti penuh kalau lagi high season. Untungnya mereka datang pas lagi sepi, jadi tasnya bisa dengan nyaman ditenggerkan dulu disana. Menurut ibu penjaga penitipan barang, batas maksimal penitipan adalah sampai jam 5 sore, dan sekarang sekitar jam 1 siang, berarti mereka punya waktu 4 jam untuk berjalan-jalan di prambanan, cukup lah…
Begitu masuk, lagi-lagi si bapak penjaga pintu memberikan saran lagi:
langsung ke shuttle ratu boko ya, soalnya cuma sampai jam 3 sore.
Oh iya iya, wah ini bapak baik bener. Terimakasih, lagi, bapak penjaga! Langsung deh mereka meluncur ke lokasi keberangkatan shuttle, dan pas mereka dateng, langsung berangkat aja gitu ke candi ratu boko, semacam di charter gitu shuttle-nya. Lebih kurang perjalanan ke ratu boko sendiri memakan waktu 15 menit. Oleh petugas shuttle, mereka diberikan waktu 1 jam untuk berkeliling, langsung berangkaat!

Candi Ratu Boko sendiri cukup luas dan objek-objeknya agak tersebar. Problem-nya, kala itu matahari terik sekali, membuat langkah semakin berat untuk berkeliling. Ya udah, mereka bertiga memutuskan untuk menuju ke puncak anak tangga aja, ga bisa kayaknya jalan jauh-jauh, nanti kalau pingsan karena kepanasan kan bisa gawat..
Di pucuk candi ratu boko, terdapat sebuah pondokan kecil, dan darisitu bisa melihat pemandangan yang cukup keren. Oh ya, candi prambanan juga keliatan loh darisana. Selain pemandangan yang bagus, tidak banyak yang bisa dilihat. Ada semacam prasasti, yang sepertinya mencerminkan ratu boko, tapi.. ratu boko itu siapa sih, ga tau juga..
1 jam yang disediakan di candi ratu boko mereka habiskan dengan duduk-duduk santai di pondokan. Soalnya di luar panas bukan main.. Ada 2 hal super penting hasil pengamatan saat mereka sedang ngobrol disana. Pertama, Koya menemukan bahwa tong sampah di dekat pondokan itu bertuliskan Hotel Sheraton. Wuah, dapet darimana tuh tong sampahnya?

Yang kedua, lagi-lagi Koya yang menemukannya, apalagi ini sangat terkait sama dia. Di pondokan itu terdapat sebuah kayu yang digantung di langit-langit dan bertuliskan tentang tanggal peresmian pondokan yang ternyata bernama Gardu Pandang Sono Seto sebagai objek wisata. Uniknya, tanggal peresmiannya tepat jatuh pada hari kelahiran si Koya! Betapa bangganya dia, di hari yang sebelumnya dianggap sebagai hari paling tidak penting sedunia itu, ternyata terbukti juga memiliki kejadian penting! Mihe dan Tempe pun mengiyakan saja euforia Koya, tak lupa Tempe dipaksa untuk mengabadikan tulisan tersebut. Tapi kalau dipikir-pikir, berapa sih chance-nya bisa tepat persis gini tanggal, bulan, sampai tahunnya juga? Kebetulan banget, kan.
Jangan-jangan si Koya ini titisan Ratu Boko?
Dan akhirnya, 1 jam pun berlalu, waktunya kembali ke candi prambanan. Sebelum naik ke shuttle, mereka sempat berbincang dengan petugas shuttle tersebut. Ternyata dia juga baru lulus, wah pas banget, lagi. Oh ya, ada pembicaraan menarik:

Petugas shuttle: sudah selesai berkeliling, mas?
Tempe: wah sudah, bagus ya pemandangannya.
Petugas shuttle: iya memang, kalau mau, menginap saja disini.
Benak hati Tempe: emangnya gw monyet apa suruh tinggal di hutan..
Tempe: (tertawa) bercanda nih mas-nya, boleh lah saya nginep kalau ada hotel di tengah hutan itu di atas. (tertawa lagi)
Petugas shuttle: loh, memang ada kok. (muka datar)
Tempe: (berhenti tertawa) hah, serius? Mana mungkin ada hotel di tengah-tengah hutan gitu?
Petugas shuttle: iya, memang ada hotel di atas.
Ternyata memang ada hotel! Dan salah satunya adalah Sheraton, yang tong sampahnya nangkring di pondokan. Ok, semuanya masuk akal sekarang. Diiringi muka-muka menyindir Mihe dan Koya, mereka bertiga kembali ke candi prambanan menggunakan shuttle.
Candi Prambanan

Kalau candi prambanan sendiri, udah sangat terkenal ya, pasti banyak yang mengulas juga, jadi tidak perlu banyak yang diceritakan. Hal yang menarik adalah usaha restorasi yang sedang dilakukan di candi prambanan, oleh sebab itu untuk masuk ke candi yang paling besar, yaitu candi siwa, harus menggunakan helm.
Salah satu yang mengecewakan adalah pentas tari ramayana yang saat itu sedang tidak tersedia. Padahal kalau berkunjung pada bulan September, misalnya, bisa menyaksikan pentas tari yang menurut desas-desus pecah banget.
Setelah berjalan sepanjang 1km lagi untuk kembali ke halte prambanan, mereka bertiga kembali menuju stasiun untuk bersiap perjalanan panjang malam ini menuju Malang.
Kopi Enjozz
Dari halte prambanan, halte yang dituju adalah halte malioboro 1. Perjalanan balik memang selalu terasa lebih cepat. Oh ya, trans jogja sendiri punya jam operasi yang berbeda-beda. Misalnya untuk sampai prambanan, disarankan maksimal jam 5 sudah kembali ke halte, karena setelah jam tersebut trans jogja sudah jarang. Sementara untuk perjalanan ke alun-alun selatan (pada post sebelumnya), trans jogja masih beroperasi sampai dengan jam setengah 9 malam.
Di tengah perjalanan, Mihe dan Tempe berbincang mengenai angkringan yang tempo hari masih gagal dikunjungi. Koya? Ah, kalian tahu dia ngapain selama perjalanan pulang..
Menurut Mihe, angkringan yang terkenal adalah angkringan tugu, lokasinya dekat dengan tugu jogja kembali yang sudah dikunjungi. ‘Angkringan yang paling terkenal itu angkringan lek man’, kata Mihe, ‘itu salah satu angkringan pertama yang buka’.
Wah! Leluhur angkringan! Pikir Tempe. Masih bisa kesana ga ya?
Tapi ga harus angkringan lek man juga ga apa-apa deh. Soalnya si Mihe juga pengen banget nyobain yang namanya Kopi Joss. Intinya, kopi joss adalah minuman kopi hitam yang ditambahkan arang untuk menjaga kehangatannya. Wuah, ngiler euy.
Menurut hasil googling, angkringan tugu terletak di utara stasiun tugu. Utara stasiun tugu? Itukan luas banget! Gimana nyarinya? Begitu sampai ke halte, dan setelah membangunkan Koya yang asik memejamkan mata, mereka bertiga kembali berjalan menyusuri jl. Mangkubumi, yang merupakan jalan besar di utara stasiun tugu, untuk mencari lokasi angkringan tugu.
Menyusuri dan terus menyusuri.. tetapi, tidak ada angkringan yang terlihat. Duh, sedih. Diliputi oleh kegalauan mendalam, Tempe mencoba bertanya kepada seorang satpam setempat.
Tempe: selamat malam Pak, boleh tanya, angkringan tugu sebelah mana ya?
Pak Satpam: apa? angkringan tugu? Saya kurang tahu..
(mereka bertiga mulai kehilangan harapan)
Tempe: Oh gitu ya Pak, kalau angkringan yang ada kopi joss-nya itu tahu ga ya Pak?
Pak Satpam: (dengan bersemangat) wooo, kopi enjozz! (beneran dia bilangnya enjoz… pake en…)
Tempe, Mihe, dan Koya: IYA PAK! Dimana Pak?
Pak Satpam: itu tepat di sebelahnya stasiun tugu, masuk aja ke jalan kecil disitu. (sambil menunjuk ke arah stasiun)
Tempe: Sip! Terimakasih banyak, Pak!
Perasaan mereka bertiga girang sekali. Sisa beberapa langkah, mereka bisa menyicipi kopi joss yang legendaris. Mihe yang sangat bersemangat jalan memimpin di depan, dengan langkah yang begitu cepat.
Gang di sebelah stasiun tugu itu bernama jl. Wongsodirjan, dan lokasinya literally di utara stasiun tugu! Maksudnya bener-bener tepat di utaranya ternyata.. Dan di jalan ini sudah digelar sejumlah tikar untuk lesehan, ditemani banyak angkringan yang terbuka. Awalnya, mereka berpikir untuk masuk saja lah ke salah satu angkringan, sudah tidak sabar nih.. Sebelum akhirnya salah satu angkringan terlintas di ujung pelipis mata mereka
“Angkringan Lek Man”
Gilee.. Ini sih namanya pucuk dicinta, ulam pun tiba! Tanpa banyak cing cong, mereka bertiga langsung duduk di bangku yang katanya leluhur angkringan ini. Ibarat transformer, ini tuh buyutnya Optimus Prime! Tempe sampai tak sanggup menahan gemetar karena kegirangan.
Angkringan ini sepertinya memiliki 2 orang pegawai, 1 orang terus menerus berkeliling mengantar makanan, sementara 1 orang yang lain duduk dengan begitu santai di dekat tumpukan gorengan. Job desc bapak yang duduk ada 2: membuatkan minuman dan berkata “oseng, sambel, teri” kepada setiap pengunjung yang datang, mengacu kepada 3 jenis nasi yang tersedia untuk bebas diambil. Nah, kayaknya yang terakhir ini bos-nya, jadi kemungkinan besar beliaulah sang lek man.
Atmosfirnya aja udah pecah, adem dan pewe banget. Begitu ditanya, mau minum apa, tanpa ragu mereka bertiga kompak menjawab: KOPI JOSS!
Sambil menikmati makanan yang disediakan, minuman legendaris yang ditunggu-tunggu pun datang. Masih panas-panas asik gitu, Mihe udah langsung menyeruput kopi unik ini. Tempe yang sangat penasaran pun menanyakan, gimana?
Ini adalah pertama kalinya dalam sejarah, Mihe kehabisan kata-kata. Baik Koya maupun Tempe langsung tahu betapa nikmatnya kopi joss ini dari raut muka Mihe. Ia sebenarnya mengaku sudah pernah mencicipi kopi joss sebelumnya, tapi selalu terlena oleh kehangatannya bahkan sampai saat ini.
Tiba saatnya Tempe merasakan kopi joss yang sudah agak hangat.

Wah, ini sih, ga mungkin bisa ada yang lebih oke lagi. Kopi Joss baru saja membuat Kota Jogja mendapatkan predikat Sukses Pecah!
Siapapun kalian, berapapun umur kalian, gw ga peduli pandangan politik atau genre musik kesukaan kalian, harus-kudu-wajib nyobain kopi yang satu ini.
Tampang bahagia terpasang dengan indah di muka mereka bertiga, mensyukuri keajaiban kuliner bernama kopi joss ini. Bahkan Mihe, yang merupakan pecinta sejati kopi, tidak kuat menahan keinginan untuk minum kopi joss gelas kedua! Si penjualnya aja terlihat heran waktu tahu Mihe bisa ngehabisin gelas pertama dengan begitu cepat.
Harga
Kopi joss: Rp. 3000an, gorengan Rp 1000an
Asal usul nama Tempe
Ga mungkin hidup lebih indah dari ini, bro. Atau, mungkinkah?
Masih terhanyut dalam ombang-ambing kopi joss, mereka asik berbincang sambil menikmati makanan khas angkringan yang tidak kalah nikmat. Membahas berbagai keunikan yang terjadi dalam 2 hari terakhir, Tempe mencomot sebuah gorengan di depan matanya untuk menemani nasi yang sedang dia makan. Tanpa tahu makanan apa itu, ia menggigit, kraus… kemudian ia terdiam selama minimal 2 detik, sebelum akhirnya menatap kaget makanan tersebut sambil bertanya kepada Mihe.
‘Ini, tempe?’
‘Iya, itu tempe goreng,’ jawab Mihe.
‘INI BAHAGIA BANGET BROOO!’
Setelah kejadian tersebut, dunia menyambut kedatangan Monster Tempe Goreng, yang selama ini lebih kita kenal sebagai Tempe.
Ditambah lagi, derajat kota Jogja yang sebelumnya sukses pecah, kini ditahbiskan menjadi sukses pecah bahagia!
Perlu dicatat, pada waktu itu baru sekitar pukul 19.00, sementara angkringan ini biasanya akan semakin ramai mendekati subuh, yah, namun.. tempe goreng sudah keburu habis..
Akhirnya, dirundung rasa kecewa karena keberadaan tempe goreng yang bener-bener menghilang dari dunia, semacam holocaust tempe goreng, dan 4 gelas kopi joss yang sudah bersisa arang-nya saja, mereka bertiga memutuskan untuk pergi ke stasiun dan bersiap ke Malang. Sewaktu menyebutkan makanan yang disantap pada saat ingin membayar, pada bagian tempe goreng cukup lucu:

Mihe: “Tempe gorengnya.. 1”
…
Koya: “Tempe gorengnya.. 4”
Lek Man: “Hah, 4!?”
…
Tempe: “Tempe gorengnya.. ehehe.. 7”
Lek Man: “tujuh!?” (kemudian pingsan..)
Yah.. maafkan kerakusan kami, Pak. Salah sendiri punya makanan dan minuman muaknyus…
(jangan-jangan… alasan harga kedelai naik belakangan ini adalah gara-gara.. kelahiran monster tempe?)
Dengan ini, kami, Tempe, Mihe, dan Koya mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya kepada para pengunjung angkringan lek man tertanggal 21 Agustus 2013. Bukan, lek man bukan tidak menggoreng tempe krispi pada hari itu. Pada waktu kami datang, masih ada sekitar 12 tempe goreng. Tetapi, ehem, kami habiskan semua secara brutal. Semoga teman-teman dapat memaklumi..
– Tempe atas nama Mihe dan Koya
Gw ga peduli apakah ada yang namanya cinta pada pandangan pertama atau tidak, tapi gw tau pasti, bahwa cinta pada gigitan pertama itu nyata senyata-nyatanya!
ke malangnya naek malabar atau malioboro ekspress? mari kita tunggu
Epic.