Jogjakarta – Part 1: Masa lalu yang belum berlalu

(tulisan ini adalah sekeping bagian dari perjalanan 1 minggu keliling Jawa berjudul Keliling By Request)

Sedikit basa-basi: Sebelum melanjutkan berbagi cerita, pertama-tama ingin apresiasi dulu nih buat tanggapan-tanggapan yang diterima, terutama 3 post terakhir. Biasanya, blog ini memang ditulis hanya sebagai pengingat bagi diri sendiri aja, makanya hanya di-share di twitter, yang notabene follower gw pasti udah terbiasa dengan pikiran-pikiran liar dan cuap-cuap ga penting dari gw. Namun, betapa senangnya ternyata banyak pembaca, yang datang setelah share di facebook, bisa mendapatkan pengaruh positif juga. Selamat melanjutkan membaca! Segala macam tanggapan, kritik, saran amat sangat diterima, loh.

Lanjoood…

Jika dilihat dari judul post ini: Jogjakarta – Part 1. Kenapa bisa pede banget sampai membagi Jogja menjadi beberapa part? Soalnya Jogja: sukses pecah, banget! Sesaat setelah petualangan di Jogja selesai, Tempe, Koya, dan Mihe tak henti-hentinya berucap bahwa meletakkan Jogja sebagai kota pertama itu sebuah kekeliruan. Jogja menetapkan standar yang terlalu tinggi, pikir mereka. Jangan-jangan perjalanan ini terlanjur klimaks dini, pikir Tempe menambahkan.

Apakah Jogja merupakan klimaks dini? Tidak.. Tidak..!

Apakah Jogja menetapkan sebuah standar yang begitu tinggi? Iya.. Iya..!

Apakah perjalanan ini akan semakin seru? Bisa jadi.. bisa jadi!

Daripada bertele-tele, mendingan mulai melanjutkan ke langkah pertama setelah keluar dari stasiun tugu

Monumen Tugu

Oh, Jogja. Berhubung Jogja sendiri merupakan salah satu hulu daripada darah yang mengalir di dalam tubuhnya, kota yang satu ini memang selalu terasa tidak asing buat Tempe. Berkali-kali sudah Tempe menghirup udara gerah-nya Jogja, dan berkali-kali juga ia terkesima. Buktinya, walaupun sudah pernah ke Jogja pada perjalanan-perjalanan sebelumnya, Tempe dan Koya sama-sama tetap ingin kembali lagi pada keliling Jawa kali ini. Sementara Mihe, ini adalah pengalaman pertamanya ke kota ini.

Sekitar pukul 05.00 pagi, 20 Agustus 2013, ketiga orang yang masih mengantuk-ngantuk mencoba menemukan tempat nongkrong yang asik. Inginnya sih disambut sama angkringan yang termasyur. Menurut Koya, si PJ (Penanggung Jawab) Kota Jogja, angkringan yang tepat untuk disinggahi adalah angkringan tugu. Tempe dan Mihe nurut saja, dan meminta Koya menunjukkan jalannya.

Dengan layah luyuh, langkah demi langkah coba dibangun, sekaligus mengumpulkan nyawa. Dan ternyata, sesuai akal sehat juga sih, jalanan udah sepi banget! Iyalah, ini jam berapa bro… Koya yang coba menunjukkan letak angkringan sesuai hasil risetnya membawa mereka bertiga ke deretan toko yang sudah tutup. Mana angkringannya, mana…

Baru rencana pertama langsung gagal, pertanda buruk? Ah engga kok, perubahan rencana kan wajar selama perjalanan, asal ga berubah semuanya aja. Rapat mendadak di gelar antara mereka bertiga,

mau nunggu lagi sambil ngelanjutin tidur di stasiun?

Ah sayang banget, semangat udah membara nih untuk eksplorasi Jogja!

Nah, berhubung udah tiba di Jogja dan terlanjur keluar dari stasiun, akhirnya mereka bertiga menyusuri Jl. Mangkubumi untuk menuju ke Monumen Tugu. Kalau di gmaps, jarak dari stasiun ke monumen tugu cuma 650m. Sambil melihat-lihat Jogja dari dekat, menarik juga di jalan ini memang banyak disediakan bangku-bangku di sisi-sisi jalan. Tampak juga banyak yang numpang tidur, ada juga bapak dan ibu dari dinas kebersihan (kayaknya) yang sudah memulai pekerjaannya membersihkan jalan. Ada juga yang sedang merapikan tumpukan koran, sepertinya untuk berjualan hari ini.

Mihe di Monumen Tugu
Mihe bergaya di Monumen Tugu, Jogja

Sepanjang perjalanan ini, pembicaraan mereka bertiga tertuju pada satu topik yang terus menerus dibahas oleh Koya: Gile! Gw ga bisa tidur tadi di kereta! Bapak-bapak di sebelah ngorok terus!

Setiap mendengar Koya bercerita begitu, Tempe dan Mihe hanya saling melempar pandangan sambil nyengir.

Ga bisa tidur apaan, pikir mereka berdua. Kalau merem mulu begitu dibilang ga bisa tidur, gimana tidur beneran?

Sambil mencoba sabar menghadapi berbagai cercaan dan caci maki yang keluar dari mulut Koya, akhirnya mereka sampai juga di monumen tugu. Akhirnya bisa ambil foto pertama yang bermakna di perjalanan ini!

Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949

Kira-kira seluruh proses jalan kaki dan foto-foto di tugu hanya menghabiskan waktu setengah jam. Bahkan matahari pun masih malu-malu bercahaya, pertanyaan berikutnya adalah: mau nunggu dimana nih? Angkringan udah bukan opsi lagi, sementara tujuan berikutnya, yaitu Keratonmana mungkin sudah buka subuh-subuh gini? Alamak…

Ujung Malioboro
Beristirahat sejenak menunggu pintu keraton untuk dibuka

Jadilah mereka bertiga jalan-jalan dulu tanpa tujuan, menyusuri Jl. Mangkubumi, kembali melintasi stasiun, dan melanjutkan jalan sepanjang jl. Malioboro, melihat toko-toko yang sudah tutup, dan supir becak yang terlelap di kendaraan kesayangan mereka masing-masing. Diujung Malioboro sendiri terlihat sebuah benteng megah, Vredeburg, yang cukup mencekam di kala gelap. Untungnya di dekat benteng itu terdapat sebuah perempatan yang memiliki tempat duduk umum. Akhirnya, setelah berjalan cukup jauh, kaki mereka memaksa untuk beristirahat sejenak di situ.

Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949
Kasihan sekali, susah-susah berjuang malah dipenjara.

Saat sedang asik duduk-duduk menikmati udara pagi Jogja, secara tidak sengaja Tempe melihat ke arah belakang tempat duduknya. Wah, apaan tuh. Tak disangka ternyata mereka sedang duduk di depan sebuah monumen, yang sayangnya, sedang ditutup! Kalau dilihat dari jauh, tampak seperti sebuah monumen perjuangan pada umumnya, yaitu patung-patung pahlawan. Ngiter-ngiter dikit ternyata ditemukan bahwa monumen tersebut adalah Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949. Tempe dengan sigap tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk berfoto bersama monumen perjuangan yang satu ini, walaupun cuma dapet dari luar pagar dan keadaan masih gelap sekali. Tidak apa-apa, biarpun dipagari, semangat para pejuang yang digambarkan melalui monumen ini terasa kok menembus sela-sela pagar.

Cukup lama waktu yang dihabiskan di tempat duduk ini. Dari gelap sekali, sampai akhirnya cahaya matahari jelas menyinari sudut-sudut Kota Jogja. Ada 2 hal yang seharusnya tidak perlu, mereka alami selama beristirahat di depan monumen semar 1949. Pertama, banyak sampah! Ya ampun padahal ini ruang publik dan taman yang bagus sekali di pusat kota. Yang lebih disayangkan, sesaat kemudian ada seorang bapak penjual kopi yang kebetulan ingin berjualan disitu, beliau sampai harus membersihkan beberapa sampah untuk bisa duduk dengan nyaman. Padahal dekat situ ada tempat sampah kok!

Mihe nyeruput kopi
Mihe bersiap menghadapi perjalanan menuju keraton

Kedua, paling tidak selama seluruh perjalanan di Kota Jogja, mereka menemukan ada 3 orang gila yang berkitaran bebas. Bahkan, pertemuan pertama mereka sangat tidak menyenangkan dan terjadi juga tepat di depan monumen semar. Seorang bapak yang membawa bambu panjang, mengucapkan kata-kata yang tidak bisa dimengerti, tiba-tiba duduk tepat di sebelah Koya. Biasanya mereka pede-pede aja berhadapan sama orang macam ini, tapi yang satu ini entah kenapa sulit ditanggapi dan sepertinya membahayakan. Beruntung, lagi-lagi, bapak penjual kopi dekat situ bersedia membantu mengarahkan orang yang kurang beruntung ini untuk pergi dari sebelah Koya.

Betapa senang si Tempe ketika mengetahui bahwa Mihe memutuskan untuk membeli kopi dari bapak yang sudah banyak membantu daritadi. Berhubung memang Mihe ini sepertinya memang berbahan bakar kopi, seruput dulu sedikit, sebelum akhirnya mereka bertiga melanjutkan perjalanan menuju keraton. Terimakasih bapak misterius penjual kopi!

Alun – Alun Utara

Loh kok subjudulnya ‘alun-alun utara’, katanya mau ke keraton?

Iya betul, tapi mereka masih kepagian! Biarpun tahu keraton kemungkinan besar belum buka, sekitar jam 7 pagi mereka bersikeras untuk berjalan menuju keraton. Tiba-tiba mereka dihampiri oleh seorang bapak-bapak dengan pakaian rumahan yang memberikan beberapa wejangan. Awalnya, Tempe pikir bapak-bapak ini adalah seorang pengemudi becak yang menawarkan untuk mengantar berkeliling. Tapi ternyata, beliau mengaku sebagai penduduk di sekitaran keraton, dan beliau memberikan tips yang perlu sekali untuk dicatat:

tips dari si bapak: Kalau mau datang ke keraton, datanglah jam setengah 9 pagi, baru buka jam segitu. Lalu, tidak perlu mengambil tawaran tukang becak yang bersedia mengantar berkeliling dengan biaya 5000. Mereka akan mengantarkan ke tempat-tempat tertentu yang membayar mereka. Kalau penumpangnya pada beli, baru deh tukang becaknya senyum lebar.

Jadilah mereka bertiga melanjutkan nongkrong di alun-alun utara dulu, sambil cari sarapan berhubung cukup panjang juga jalan kaki yang barusan dilalui. Ah iya, alun-alun utara ini letaknya di utara keraton (menurutloo..) dan ditengahnya terdapat 2 beringin. Tapi bukan 2 beringin yang terkenal itu, beringin di alun-alun utara seperti timpang, yang 1 besar dan yang 1 kecil. Berbeda dengan alun-alun selatan yang digunakan untuk beraktivitas dan berkumpul, alun-alun utara biasanya digunakan sebagai tempat parkir, begitu cerita dari bapak penjual bakso di depan sekolah SD tempat kami singgah. Lebih kurang, 1 jam dihabiskan di alun-alun utara, termasuk makan bakso, sebelum akhirnya mereka bertiga bergegas menuju keraton.

Keraton

Power Ranger di Keraton
Rombongan power ranger (melirik warna celana)

Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Beranjak dari warung bakso, mereka berjalan santai dari alun-alun menuju keraton. Sebelum tiba-tiba di tengah jalan sekumpulan bus pariwisata melintas dan parkir di alun-alun utara. Mereka terhenyak sesaat, kemudian langsung memacu langkah lebih cepat begitu melihat segerombolan peserta kunjungan berseragam dalam jumlah besar juga ternyata berjalan menuju keraton. Selidik punya selidik, walaupun mereka pakai jaket yang seragam (jaket almamater kayaknya), tapi ada pelangi di antara mereka. Cukup menghibur juga sambil mengantri membeli tiket keraton.

Ngapain sih pagi-pagi begini ke keraton? Pikir Tempe, lah kita sendiri ngapain ya..

Pintu masuk Keraton yang tadinya sepi pengunjung saat belum buka, mendadak penuh. Niat berkeliling santai di keraton pun punah, akhirnya harus mengantri diantara rombongan yang satu ini. Selain rombongan tersebut, ada beberapa turis lain juga yang ingin mengunjungi keraton di pagi hari.

Harga tiket masuk keraton: Rp. 5.000,- / orang + Rp. 1.000,- / kamera

Jam buka: 08.30 – 13.00

Koya berfoto di Keraton
Spot foto paling keraton abiez..

Wuah! Bisa masuk keraton juga!

Tempe kegirangan karena terakhir ia kesini, keraton sedang ditutup untuk kunjungan. Sementara Koya, yang sudah pernah ke keraton sebelumnya, juga tetap bersemangat untuk kembali berkunjung dan berfoto-foto disini.

Sepertinya kalau menceritakan isi keraton sendiri sudah cukup banyak referensi lain ya, dan berulang-ulang. Intinya, tempat ini adalah kediaman raja Hamengkubuwono, yang saat ini sudah mencapai generasi ke 10. Berbagai sejarah kerajaan ditampilkan disini. Bagus banget buat tempat foto-foto. Oh ya, yang menarik juga keberadaan guide untuk berbagai macam bahasa. Waktu berkunjung kesana, paling tidak telinga Tempe mendengar guide untuk Bahasa Indonesia, Inggris, Perancis, dan Jepang. Kemudian ada 1 Bahasa juga yang tidak dikenali oleh Tempe. Semacam bahasa telenovela gitu. Jadi emang tempat ini bersahabat dan welcome sekali sama turis. Hebat!

Museum Karate, eh.. Kareta!

Setelah menghabiskan lebih kurang 1 jam menikmati keraton dengan tanahnya yang konon didatangkan langsung dari gunung merapi, tiba saatnya kaki nereka melangkah menuju tujuan berikutnya. Di dekat keraton, lebih kurang 100 meter dari pintu masuknya, terdapat sebuah museum yang jauh lebih sepi daripada keraton. Entah kenapa.. Tapi mereka bertiga tidak peduli dengan kesunyian itu, dan tetap memberanikan diri untuk masuk. Tempat ini punya nama Museum Kareta Keraton.

Harga tiket masuk museum kareta: Rp. 4.000,- / orang + Rp. 1.000,- / kamera

Jam buka: 08.00 – maap ga dicatat

Hormat sama Kuda
Hormat dulu sama dedengkot disini

Isi dari museum yang satu ini adalah kumpulan kendaraan yang digunakan oleh petinggi-petinggi keraton jaman dulu. Kalau pakai guide, akan diceritain secara lengkap satu persatu, seperti kapan dibuatnya, untuk siapa, dibuat dari apa, dsb. Tapi mereka bertiga tidak menggunakan guide untuk yang satu ini, biar bisa puas foto-foto dan gaya gitu..

Buat yang baru pengen ke keraton, masuk deh ke museum ini juga, bagus kok. Oh ya, disarankan sekalian sama guide aja, biar dapet banyak ilmu dan pelajaran penting!

Mencari Jalan menuju Tamansari

Nah setelah beranjak keluar dari museum kareta, tujuan berikutnya jika sesuai jadwal adalah ke taman pintar. Tengok-tengok jam tangan Mihe, wah baru sekitar jam 10 siang. Masih terlalu cepat ke taman pintarnya, karena niat makan siang juga di daerah sana. Lagi-lagi rapat mendadak!

Tempe kebetulan mendengar desas-desus dari tukang becak di pintu keluar keraton tadi, banyak yang menyebut Tamansari. Wah, kok ga ada di jadwal sih? Padahal tempat ini termasuk lokasi wisata yang sebetulnya wajib dikunjungi. Sayangnya, berhubung awalnya mereka tidak menjadwalkan untuk mengunjungi tempat permandian raja ini, mereka sama sekali tidak tahu dimana letaknya. Tempe yang bertanggungjawab memberikan ide pergi ke tamansari kemudian mencanangkan cara gila:

‘Ke tamansari kan daritadi ditawarin sama tukang becak,’ pungkas Tempe, ‘lah kita ikutin aja alur becak dari keraton!’

Entah karena sudah kelelahan atau kelaparan, Mihe dan Koya mengikuti saja ide ini. Jadilah, tanpa bekal pengetahuan letak Tamansari sesungguhnya, mereka bertiga mengikuti arah becak-becak yang baru keluar dari keraton. Becak-becak ini mengarahkan mereka ke arah barat, menyusuri pertokoan. Untungnya ide gila ini berhasil, di ujung arus becak ini terdapat semacam pasar dan ada plang yang bertuliskan tamansari.

Merasa sudah menemukan tempat yang tepat, mereka bertiga kegirangan. Siapa sangka kebahagiaan tersebut hanya berlangsung sesaat. Walaupun tertulis bahwa lokasi yang mereka masuki adalah tamansari, tapi… mana permandiannya??

Mereka malah berada di suatu lorong panjang dengan jalan keluar di tengah perdesaan. Wah, gawat, panas terik begini, nyasar lagi. Baru berniat untuk kembali keluar untuk bertanya pada orang sekitar, tiba-tiba ada turis asing yang juga baru keluar dari lorong, sepertinya turis-turis asing ini berharap bisa mengikuti 3 orang sok ide yang nyasar ini. Berbeda dengan ketiga orang yang berniat kembali, turis-turis asing ini melanjutkan masuk ke perdesaan. Tempe, Mihe, dan Koya saling memberikan tatapan, dan tanpa bercakap pun mereka tahu bahwa satu sama lain saling berkata, ikutin aja yuk.

Lah ini siapa yang orang lokal, siapa yang akhirnya nunjukkin jalan…

Permandian Raja dan Masjid Bawah Tanah

Pintu masuk Tamansari
Pintu masuk yang pecah banget!

Luar biasa! Turis-turis asing yang awalnya mengikuti, berhasil memimpin mereka bertiga ke tempat yang tepat. Kesan pertama, baru di depan pintunya aja udah pecah banget! Ditambah lagi lokasinya di pusat perdesaan dengan rumah-rumah kecil gitu. Setelah membeli tiket, langsung saja mereka masuk ke dalam. Tiba-tiba dihampiri oleh seseorang yang ternyata seorang guide. Tanpa bertanya apakah ingin ditemani guide atau tidak, langsung saja mas-mas ini berjalan dan bercerita kepada kami mengenai sejarah tamansari. Oh ya, kalau mau kesini, sangat amat wajib ditemani seorang guide! Jalannya berlika-liku, antar spot melewati pedesaan, udah gitu beberapa tempat sepertinya serupa dan bisa membingungkan. Jadi mereka baru sadar kenapa guide disini proaktif sekali.

Sumpah, kalian harus kesini! Keindahan dari tempat ini bukan cuma untuk mata, tapi juga untuk hati! Sejarahnya keren banget! Ini tanda seru harus dipake terus-terusan soalnya emang pecah banget!

Harga tiket masuk tamansari: Rp. 4.000,- / orang + tip guide seikhlasnya

Jam buka ga tau sama sekali, ke tempat ini aja mendadak..

Jendela Lempar Bunga
Jendela tempat raja melempar bunga ke salah satu gadis pilihannya. Bukan, bukan si Koya.

Mas Heri, selaku guide, bercerita panjang lebar tentang tempat ini. Secara singkat: tempat ini adalah permandian Raja Hamengkubuwono sampai dengan yang ketiga. Setelah itu, tempat ini tidak dipakai lagi karena keraton memutuskan untuk menganut islam. Lalu kerennya dimana? Banyak cerita semacam dongeng yang ternyata memang kejadian nyata di tempat ini, misalnya ada menara 3 lantai yang dilengkapi sebuah jendela untuk Raja memperhatikan para gadis-gadis desa yang sedang mandi. Dari jendela tersebut, raja akan melemparkan setangkai bunga (mawar kayaknya) kepada 1 orang gadis pilihannya untuk mandi bersama raja!

Coretan di Tamansari
Kalau namamu ada disitu, harusnya kamu malu.

Dan masih banyak cerita lain. Oh ya, awalnya tamansari itu sendiri adalah sebuah danau buatan. Raja akan datang kesana menggunakan kapal. Setelah tamansari tidak lagi difungsikan seperti semula, danau tersebut berubah menjadi pedesaan. Nah, warga yang tinggal di tamansari adalah abdi dalem, alias orang-orang keraton juga. Mereka dengan sukarela menjaga dan merawat tamansari supaya tetap asri dan bagus sebagai objek wisata. Namun, sayang seribu sayang, banyak tangan-tangan tidak bertanggungjawab yang mengotori tempat ini. Di dekat jendela untuk melempar bunga, banyak terdapat coretan-coretan vandalis yang merusak keanggunan tempat ini. Mas Heri bercerita bahwa biarpun sudah di cat ulang berkali-kali, tetap saja coretan itu bermunculan lagi dan lagi, ya ampun ironis sekali mengingat tempat ini berada di kota pelajar.

Masih terkagum-kagum dengan permandian raja, Mas Heri langsung mengantarkan ke Masjid Bawah Tanah. Masjid ini sering muncul di acara TV, sebagai salah satu masjid terunik di dunia. Lokasinya sendiri agak jauh dari permandian raja. Melewati rumah-rumah warga terlebih dahulu, dan hampir dipastikan, jika berjalan tanpa guide pasti nyasar.

Masjid Bawah Tanah
Tangga unik dalam masjid unik, berarti: dobel unik!

Begitu tiba di Masjid bawah tanah, melalui sebuah lorong yang katanya tempat Raja bertapa untuk bertemu dengan Nyi Roro Kidul, lagi-lagi mereka bertiga dibuat menganga. Arsitekturnya bagus sekali, tangga yang sangat unik, menggambarkan sesuatu tentang Agama Islam. Mas Heri menceritakan bahwa masjid ini arahnya harus diputar balik dari niat pembuatan awalnya, yaitu pada saat keraton berubah menjadi Islam, harus mengikuti kiblat.

Kemudian ada sebuah fakta yang begitu mengagumkan: masjid ini tidak butuh pengeras suara!

Bertapa di Masjid Bawah Tanah
Bertapa kok bawa minum..

Lok kok bisa?

Entah ini benar atau tidak, tetapi arsitektur dari masjid unik ini dibuat sedemikian rupa sehingga suara imam akan bergema sampai keluar, secara alami! Mas Heri pun membuktikan gema yang ditimbulkan dalam masjid dengan bertepuk tangan. Suaranya memang terdengar sangat keras. Wah, masa kini dibuat malu sama teknologi yang katanya ‘jaman dulu’.

Sebetulnya masih banyak lagi cerita seru mengenai permandian raja dan masjid bawah tanah ini, tapi ga bakal bisa semua-muanya dibeberin disini, nanti kepanjangan. Buat yang bakal pergi ke Jogja, sekali lagi: kalian harus ke tamansari!

Nah, sebelum pergi, tidak lupa si Tempe bertapa sebentar, siapa tau dapat wangsit? Hehe, engga deng bercanda.

Ngegudeg dan Istirahat

Tidak sadar hampir 2 jam dihabiskan untuk berputar-putar di tamansari. Tidak lupa memberikan tip buat Mas Heri (Makasih ya Mas cerita-ceritanya!), mereka bertiga mencoba move on dari keindahan permandian raja dan masjid bawah tanah. Membayangkan jalan balik ke Malioboro seperti yang mereka lakukan saat menuju tamansari, oh tidak sanggup. Kaki sudah lelah tampaknya. Oleh sebab itu, mereka memutuskan untuk menyewa jasa becak. Kebetulan ada seorang Bapak Tua yang nongkrong di depan tamansari.

Nah yang satu ini, mereka sama sekali tidak bangga

Bapak tua pengendara becak ini umurnya minimal 40 tahun. Dan dengan bodohnya, mereka bertiga memutuskan untuk hanya menyewa 1 becak saja (ditumpangi 3 orang dewasa!), belum cukup sampai situ, mereka menawar biayanya! Ya ampun, mungkin karena terlalu kelelahan. Akhirnya si bapak ini berusaha susah payah mengayuh becaknya, ditambah lagi, ada 1 titik dimana jalanannya menanjak. Beliau harus turun dari becaknya, dan mendorong sekuat tenaga! Becaknya maju perlahan, perlahan, bahkan sempat dimarahi oleh mobil dibelakangnya. 3 orang penumpangnya yang tidak tahu diri bukannya turun sejenak, malah duduk santai. Tapi, Bapak ini terlihat begitu bersemangat mengantarkan mereka, beliau sesekali mengajak ngobrol para penumpangnya. Semakin diingat, semakin merasa menyesal… Maaf ya Pak…

Oh ya, salah satu cerita yang cukup berkesan dari beliau adalah tentang keberadaan becak bermotor yang sedang mewabah di Jogja. Beliau menganggap bahwa becak semacam itu akan menghilangkan sisi kebecakannya itu sendiri, dan memang becak bermotor saat ini masih dianggap ilegal, tanpa ijin. Tempe, Koya, dan Mihe sendiri sudah beberapa kali bertemu dengan becak bermotor, banyak berkeliaran di alun-alun utara.

Akhirnya, sekitar pukul 12.00, perjalanan diistirahatkan dulu sejenak, mereka kembali ke alun-alun utara. Berhubung sudah jam makan siang, dan naga-naga perut begitu tidak tahan akan gerah-nya kota Jogja, mereka memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu. Pilihan jatuh pada sebuah restoran gudeg di alun-alun utara. Bukan rahasia umum kalau makanan di Jogja ini tergolong murah. Masing-masing gudeg beserta minum dibanderol Rp. 15.000,-. Sudah dapet gudeg telur dan minuman teh manis dingin.

Ah, mau kemana kita setelah ini? Begitu pikir mereka, masih terhenyak dengan pengalaman luar biasa padahal baru setengah hari berpetualang. Mau kemanapun, semoga kelanjutannya tetap semanis gudeg yang sedang mereka santap.

Iklan

Gimana?

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s