Mungkin sudah agak basi, mari memulai tulisan ini dari sebuah pernyataan yang dikatakan seorang teman kepada teman lain:
Mending menikmati hidup itu dari sekarang,
jangan terlalu bersusah lalu nikmati di masa depan,
karena di masa depan belum tentu kita bisa menikmati hidup seperti sekarang.
Sebenarnya tidak persis seperti itu kata-katanya, dipercantik sedikit secara subjektif saja. Lebih kurang isinya sama.
Silakan direnungi kalimat tersebut, saya sendiri adalah orang yang cenderung kebingungan dengan pernyataan tersebut.
Kenapa? Dulu saya mungkin tidak bisa menggambarkan kebingungan ini, tapi ada kata-kata menarik yang saya baca di twitter, secara tidak sengaja punya korelasi yang besar dengan kebingungan saya:
cinta ga butuh pengorbanan, kalau masih merasa berkorban berarti bukan cinta.
Itulah inti sebuah kicau oleh Sudjiwo Tedjo yang saya ingat.
Yap betul, kenapa kita harus memilih kapan kita akan menikmati hidup, lalu sisanya apa? Hidup tersiksa?
Menikmati hidup itu sebab bukan akibat. Menurut saya kata yang lebih tepat adalah hidup itu nikmat.
Saya ingin sekali menuliskan ini karena mendapatkan analogi yang menarik yaitu ketika sedang makan dengan teman saya yang lain,
kebetulan kami memesan makanan yang sama, daging steak.
Apa yang menarik? Ketika makanan kami tiba, saya memotong satu bagian lalu langsung memakan, potong lagi, makan lagi. Sementara saya melihat teman saya terlebih dahulu memotong semua daging tersebut sampai selesai baru memulai makan.
Mana yang lebih tepat?
Saya tidak tahu menahu mengenai aturan tata krama pemotongan daging (kalau memang ada), tetapi kedua cara tersebut menghasilkan rasa steak yang sama toh, sisanya hanya mengenai mana yang lebih anda nikmati: makan sambil memotong atau makan tanpa interupsi memotong.
Menikmati hidup itu hal yang natural, pendapat dan tuntutan orang lain justru memalsukan kenikmatan bagi kita.
Terlalu sibuk melakukan hal yang tidak suka,
untuk mendapatkan hal yang tidak kita inginkan,
hanya karena pikiran orang lain yang sebetulnya tidak kita mengerti.